Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menerima kunjungan Kelompok Studi Hukum FH Universitas Padjadjaran (Unpad), Jumat (17/5) pagi di lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertemuan itu Hamdan memberikan ‘kuliah singkat’ seputar konstitusi maupun berbagai hal terkait Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Pada kesempatan itu Hamdan menjelaskan, konstitusi diartikan sebagai pokok-pokok norma kehidupan secara umum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Di samping itu, konstitusi adalah suara rakyat yang menempati suatu wilayah dan terorganisir dalam suatu negara.
“Suara rakyat yang terakumulasi dalam bentuk tulisan, selalu tumbuh dan berkembang. Kalau kita hanya mendasarkan pada konstitusi tertulis, hal itu bisa menjadi fosil atau barang mati. Itulah yang biasa disebut dengan living constitution atau konstitusi yang hidup. Karena konstitusi mengikuti suara rakyat,” urai Hamdan.
Oleh karena itu, lanjut Hamdan, penafsiran konstitusi dari satu era ke era yang lain bisa berbeda. Lantas apa penyebabnya? Karena inti dari konstitusi adalah suara rakyat (the voice of people). “Namun karena suara rakyat begitu beragam di Indonesia, terjadi pertentangan, hingga dicari titik temu dan nilai-nilai kesamaannya yang bersumber dari penafsiran atas konstitusi,” imbuh Hamdan.
Lebih lanjut Hamdan menerangkan, saat terjadi penyimpangan UUD 1945, tidak ada yang bisa meluruskan kecuali penguasa pada masa itu. Pada masa Presiden Soeharto, dialah yang paling berkuasa menafsirkan konstitusi.
“Apa yang konstitusional dan inkonstitusional sangat bergantung pada apa kata Pak Harto. Demikian pula pada masa Presiden Soekarno, siapa yang berbeda pendapat dengan Soekarno, akan dipenjara. Termasuk founding fathers pernah masuk penjara,” jelas Hamdan.
Selanjutnya, berkembang pemikiran bahwa perlu ada lembaga peradilan yang akan menjadi penafsir terakhir melalui dasar hukum. Hingga dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003. “Mahkamah Konstitusi adalah polisinya konstitusi atau pengadilannya konstitusi, yang mengawal konstitusi agar konstitusi berjalan secara benar dalam koridor yang disepakati bersama,” ucap Hamdan.
“Karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut dengan the guardian of constitution,” tambah Hamdan.
Itulah sebabnya, kata Hamdan, apa yang menjadi fungsi dan tugas Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengawalan norma-norma konstitusi. Kalau ada undang-undang yang melenceng dari konstitusi, setiap warga negara berhak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, untuk membatalkan undang-undang tersebut. “Hal itu termasuk luar biasa. Di berbagai negara hanya lembaga negara yang boleh melakukan pengujian undang-undang. Tapi di Indonesia, seluruh warga negara boleh melakukan pengujian undang-undang,” ungkap Hamdan.
Pada pertemuan itu, Hamdan memaparkan wewenang dan fungsi MKRI, mulai dari menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu maupun pemilukada, dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela.
Ditambahkan Hamdan, putusan MK tidak hanya berdasarkan pada pasal-pasal yang tercantum dalam UUD 1945. Putusan MK juga berdasarkan pada risalah-risalah, filosofi dan budaya bangsa, serta sistem politik yang dianut oleh suatu bangsa. “Karena itu putusan MK menjadi dinamis,” tandas Hamdan kepada para mahasiswa. (Nano Tresna Arfana/mh)