Mekanisme rekrutmen hakim agung melalui proses seleksi untuk dipilih di Dewan Perwakilan Rakyat bertentangan dengan semangat Konstitusi. Sebab, pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah mengamanahkan DPR untuk memilih, melainkan hanya sebatas menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk selanjutnya ditetapkan oleh Presiden.
Demikian disepakati oleh para ahli yang dihadirkan Pemohon dalam Perkara No. 25/PUU-XI/2013 dan 27/PUU-XI/2013 yang menguji ketentuan terkait mekanisme pemilihan hakim agung melalui persetujuan DPR. Para ahli tersebut adalah Syarifuddin Syukur, Khusnu Abadi, Saldi Isra, Fajrul Falaakh, dan Zainal Arifin Mochtar.
Menurut Syarifuddin Syukur, berdasarkan pernyataan salah satu perummus perubahan UUD 1945, Agun Gunandjar Sudarsa, kata-kata “persetujuan” tidak mengandung makna bahwa DPR melakukan proses seleksi atau fit and proper test terhadap para calon hakim agung. “DPR hanya memberikan persetujuan, dia dapat menerima atau menolak sejumlah hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial,” ujarnya mengutip pernyataan Agun yang terdapat dalam salah satu risalah saat pembahasan perubahan UUD 1945.
Dia pun berkesimpulan bahwa KY sesungguhnya adalah institusi yang diproduk dan dibentuk oleh DPR yang sekaligus sebagai kepanjangan tangan DPR dalam konteks penyeleksian hakim agung. Menurutnya, sangat aneh kalau calon hakim agung yang sudah diseleksi sedemikian rupa oleh KY, kemudian “diobok-obok” kembali oleh lembaga yang telah membentuknya. “Menurut saya, Tuhan saja tidak pernah mengulang pekerjaan yang telah didelegasikan kepada para malaikatnya,” Syarifuddin beranalogi.
Selain itu, dia menilai, banyak terdapat ketidakkonsistenan penggunaan kata “persetujuan” oleh DPR dalam beberapa peraturan yang ada. “DPR sudah meluaskan kewenangannya sedemikian rupa sehingga terjadi pengulangan proses yang tidak perlu. DPR yang sudah memilih KY seharusnya tidak memproses lagi apa yang sudah dilakukan oleh lembaga tersebut,” ujarnya dalam sidang mendengarkan keterangan ahli pemohon, Kamis (16/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Senada dengan pandangan tersebut, Khusnu Abadi menyatakan bahwa DPR tidak berwenang untuk memilih dalam konteks rekrutmen hakim agung. Menurutnya, KY hanya cukup mengusulkan satu calon saja ke DPR, tidak lebih tidak kurang. Tanpa pemberian makna dipilih sedikitpun.
“Telah terjadi perubahan frasa yang berimplikasi pada perbedaan akibat hukum, yaitu perubahan dan penambahan kewenangan pada DPR. Padahal teks UUD 1945 tidak memberikan kewenangan itu,” jelas Khusnu.
Di samping itu, menurut ahli lainnya, Saldi Isra, keliru kalau memaknai memilih merupakan bagian dari check and balances. Harusnya, kata dia, check and balances itu terjadi dalam hubungan antara lembaga negara pada level yang setingkat. “Dalam konteks ini pemerintah tidak punya kewenangan apa-apa. Kewenangan itu sudah dipindahkan ke KY. Tidak cukup kuat argumentasi untuk itu,” tuturnya.
Faktanya, lanjut Saldi, banyak orang-orang terbaik berdasarkan hasil seleksi KY, tersingkir setelah melewati seleksi di DPR. Menurutnya, kalau calon yang dikirim sesuai jumlah kebutuhan, maka orang-orang terbaik itu akan jauh lebih besar peluangnya untuk dipilih.
Ketakutan Saldi sangat beralasan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi jabatan publik di DPR selama ini lebih kental unsur politiknya dibandingkan seleksi dengan basis kompetensi dan integritas sang calon hakim agung. “Menyebabkan orang-orang yang punya kemampuan hukum yang baik, memiliki integritas yang baik, menjadi takut memasuki proses itu,” imbuh Saldi.
Secara singkat, Fajrul Falaakh menilai, dewasa ini politik rekrutmen hakim agung tidak memantulkan independensi kekuasaan kehakiman, menyimpang dari konstitusi, dan berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi para calon hakim agung. Menurutnya, mekanisme sebagaimana diuji oleh Pemohon, telah menjungkirbalikkan proses seleksi oleh lembaga independen yang pembentukannya juga telah melalui DPR.
Zainal Arifin Mochtar menambahkan, seharusnya rekrutmen dalam konteks kekuasaan kehakiman, dijauhkan dari nuansa politik. “Hal ini agar tidak ada standar-standar politik yang menjadi standar rekrutmen hakim agung,” ucapnya. (Dodi/mh)