Seorang terpidana korupsi, Samady Singarimbun, menguji Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta penjelasannya. Melalui kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun, dia menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini telah merugikan hak konstitusionalnya, khususnya yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945.
“Harapan kami sidang ini bisa membatalkan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Minimal membuat persyaratan kondisional terhadap undang-undangnya,” tegas Tonin Tachta dalam sidang pendahuluan Perkara No. 44/PUU-XI/2013, Kamis (16/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Menurut Tonin, banyak abdi negara menjadi terpidana korupsi akibat ketentuan tersebut. “Banyak pegawai negeri yang harus di pidana karena Pasal 2 ayat (1) ini. Dengan alasan negara dirugikan,” tuturnya.
Padahal, kata dia, seperti yang dialami Pemohon, terkadang tindak pidana korupsi yang dinyatakan terbukti dalam pengadilan, merupakan pelaksanaan perintah dari atasan atau pejabat negara. Sehingga, dalam hal ini sebenarnya Pemohon hanya menjalankan perintah atasan, bukan secara sengaja melakukan korupsi.
“Pada saat melaksanakan tugas di sana (Rangkas Bitung, pen), lima koperasi di sana tidak layak menerima dana bergulir berkaitan dengan kadar batu baranya karbonnya lebih dari 2%. Tetapi karena ada perintah dari Menteri, dari Deputi, maka itu tetap dijalankan dan yang bersangkutan sebagai anak buah harus mematuhi atasan,” papar Tonin menjelaskan latar belakang kasus yang dialami Pemohon.
Sebelumnya, Pemohon dinyatakan bebas di pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Negeri Rangkas Bitung menyatakan Pemohon tidak bersalah. Namun, di tingkat kasasi, Pemohon dinyatakan terbukti melanggar ketentuan tersebut. Akibatnya, sekarang Pemohon harus menjalani hukuman di Lapas Suka Miskin, Bandung.
Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan Pemohon, Ketua MK M. Akil Mochtar yang memimpin Panel Hakim dalam perkara ini mengatakan bahwa apa yang diuji oleh Pemohon sudah pernah diputus MK dalam Perkara No. 003/PUU-IV/2006. Sehingga Akil menyarankan Pemohon untuk mempertimbangkan kembali apakah akan tetap mengajukan uji materil terhadap ketentuan tersebut ataukah tidak.
Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan Pemohon yang diajukan oleh Dawud Djatmiko karyawan PT. Jasa Marga. Salah satu amar putusan MK menyatakan, “Sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” (Dodi/mh)