Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menegaskan bahwa ketentuan yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali, telah sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satunya, sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani, pengajuan PK yang tidak dibatasi justru akan menghadirkan kerugian bagi pencari keadilan. Karena, jika dibuka peluang untuk lebih dari satu kali, selain melanggar undang-undang, juga akan mengakibatkan perkara menjadi panjang dan berakhir tanpa ujung. “Akibatnya justru tidak menimbulkan kepastian hukum bagi pencari keadilan,” ujar Yani saat mewakili DPR dalam sidang Perkara No. 21/PUU-XI/2013, 34/PUU-XI/2013, dan 36/PUU-XI/2013 pada Rabu (15/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, kata Yani, ketentuan tersebut sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Berdasarkan asas ini pula, harapannya akan memotivasi hakim agung untuk menyelenggarakan sidang PK dengan penuh kehati-hatian dan kecermatan. “Karena putusan akan menentukan nasib seseorang,” ungkapnya.
Menurut Yani, pembatasan hak pengajukan PK dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. “Maka ketentuan yang diuji oleh para pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945, jika dilakukan dengan konsisten dan tegas. Tapi fakta hari ini pasal-pasal itu tidak dilaksanakan secara konsisten dan tegas,” paparnya.
Di samping itu, dia juga mengutarakan bahwa saat ini DPR dan Pemerintah sedang menyusun Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. Oleh karen itu, nantinya putusan MK dalam perkara ini akan dipertimbangkan dalam pembahasan dan perumusan Rancangan Undang-Undang KUHAP.
Perwakilan Pemerintah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, menyampaikan hal senada. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak membatasi dan menghalang-halangi hak para Pemohon untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Apabila PK tidak dibatasi, sambung Mualimin, dapat menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian penyelesaian perkara. Karena tidak diketahui berapa kali dapat diajukan dan berakibat pada tak kunjung selesainya proses hukum yang sedang berjalan. “Selain itu juga, menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan, dapat mengakibatkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Sesuai dengan adagium, justice delayed, justice denied.” tegasnya.
“Jikalaupun terdapat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang, sebagaimana kita ketahui, pembatasan tersebut semata-mata adalah dalam rangka penghormatan hak asasi manusia orang lain,” sambung Mualimin.
Adapun terhadap permohonan yang meminta MK membuka hak bagi ahli waris korban untuk mengajukan PK, menurut Mualimin, adalah tidak sesuai dengan model hubungan negara dan korban dalam penegakan hukum yang dianut oleh Indonesia. Dia mengatakan, Indonesia menganut Model Pelayanan. Di mana, korban telah diwakili oleh negara melalui Kepolisian dan Kejaksaan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-haknya dalam proses peradilan.
“Apabila aparat hukum telah melakukan tugasnya bagi penegakan hukum dan keadilan, sesungguhnya telah mewakili semua kepentingan hukum yang terkait dengan pelanggaran hukum pidana termasuk mewakili kepentingan korban kejahatan,” papar Mualimin.
Memasung Keadilan
Pada kesempatan yang sama, dalam Perkara No. 34/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, mengajukan seorang ahli, Yusril Ihza Mahendra, dan seorang saksi Sri Bintang Pamungkas.
Dalam keterangan ahlinya, Yusril berpendapat bahwa permohonan yang diajukan Pemohon tidak ne bis in idem. Alasannya, selain berbeda dalam batu uji yang digunakan, argumentasinya pun berbeda. Sedangkan dalam pokok permohonan, dia menegaskan bahwa pembatasan pengajuan PK hanya satu kali telah melahirkan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Menurutnya, haruskah orang yang dihukum seumur hidup atau dihukum mati dipertaruhkan nasibnya hanya karena ketentuan yang mengatakan PK hanya satau kali padahal ada novum (bukti baru) baru yang sangat kuat dan meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah. “Tujuan peradilan adalah untuk menegakkan keadilan. Apakah kekuasaan kehakiman yang merdeka itu harus dipasung oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga pengadilan tidak dapat melaksanakan fungsinya mewujudkan keadilan,” imbuhnya setengah bertanya.
“Jutaan orang diluar pengadilan ini mengatakan bahwa Antasari Azhar tidak dihukum dengan keadilan, melainkan dengan kezaliman. Akankah kita membiarkan saudara Antasari Azhar mendekam 18 tahun dipenjara meskipun beliau mempunyai novum untuk dibawa kepersidangan PK sekali lagi tapi pintu keadilan tertutup atas nama kepastian hukum,” beber Yusril.
Adapun Sri Bintang Pamungkas, memberikan kesaksian tentang pengalamannya dalam menjalani proses hukum. Setidaknya ada tiga perkara yang pernah dihadapinya, yakni didakwa menghina Presiden, melakukan kegiatan subversif, dan kriminalisasi, sehingga dipecat tidak dengan hormat sebagai PNS. Di mana ketiganya telah merugikan dirinya karena pengajuan PK hanya satu kali. (Dodi/mh)