Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sultan Adam, Banjarmasin, bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (15/5) pagi. Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso menerima kedatangan mereka dan sekaligus memberikan ‘kuliah singkat’ kepada para mahasiswa tersebut.
“MK itu cukup diberi dua senjata. Pertama adalah pengujian undang-undang. Kedua adalah constitutional complaint atau pengaduan konstitusional. Dua itu saja sudah cukup. Jadi, yang seharusnya ada di kita (MKRI – Red.) adalah pengaduan konstitusional,” kata Fajar yang mengutip pendapat Prof. Dr. Moh. Mahfud MD mengenai dua senjata yang semestinya dimiliki MK tersebut.
Terkait pengaduan konstitusional, Fajar mencontohkan negara Jerman, Thailand dan Korea yang sudah menerapkannya. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia justru memiliki kewenangan memutus pembubaran parpol, memutus sengketa antara lembaga negara, memutus perselisihan Pemilu maupun Pemilukada. Termasuk juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela.
Fajar melanjutkan, sebelumnya MKRI tidak menangani perselisihan pemilukada. UUD tidak memerintahkan MKRI untuk memutus perselisihan hasil Pemilukada. Tapi kemudian dalam perkembangannya, ternyata secara asas yang namanya Pemilukada, asas-asasnya sama dengan pemilu yang dimaksudkan dalam UUD.
“Sebelum dimasukkan ke dalam rezim Pemilu, namanya Pilkada. Tapi begitu ada putusan MK yang memasukkan itu sebagai rezim pemilu, maka hal itu disebut sebagai pemilukada,” jelas Fajar kepada para mahasiswa.
Dikatakan Fajar lagi, perubahan ketiga UUD 1945 menyepakati dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung. Selain itu, perubahan UUD 1945 mengubah relasi kelembagaan negara. Dulu, relasi kelembagaan negara bersifat vertikal-hierarkis. Ada MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, penjelmaan rakyat dan menjadi lembaga tertinggi negara.
“Sekarang, relasi kelembagaan negara bersifat horizontal-fungsional. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Namun MPR sejajar dengan MK, DPR, Presiden, DPD, BPK. Yang membedakan adalah fungsi dari masing-masing lembaga negara yang ditetapkan oleh UUD,” urai Fajar.
Fajar menjelaskan pula, dulu sengketa kewenangan lembaga negara tidak ada sandaran hukumnya. Seringkali persoalan-persoalan terkait sengketa kewenangan lembaga negara di bawah penanganan Presiden. Karena di masa itu Presiden memiliki pengaruh yang sangat kuat. “Penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara bukan secara hukum atau tidak dilakukan dengan mekanisme hukum,” imbuh Fajar.
Kemudian mengenai pembubaran partai politik, dulu Indonesia tidak memiliki pranata untuk membubarkan satu parpol. Presiden Soekarno saat membubarkan Partai Masyumi tidak ada dasar hukumnya. Partai Masyumi dibubarkan karena adanya perselisihan paham antara Soekarno dengan pimpinan-pimpinan Partai Masyumi.
“Namun sekarang, yang berhak membubarkan parpol hanyalah MK, dengan pemohonnya adalah pemerintah. Di luar pemerintah tidak bisa,” kata Fajar. (Nano Tresna Arfana/mh)