Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian undang-undang (PUU) atas objek perkara UU No. 15/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik - Perkara No. 45/PUU-XI/2013 - digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (14/5) siang. Permohonan ini diajukan oleh 12 anggota DPRD kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang terpilih dalam pemilihan umum 2009 dan berasal dari partai politik yang tidak lolos dalam verifikasi pemilu 2014, antara lain Sefriths E.D. Nau dan Haeril, dengan kuasa hukumnya Marthens Manafe, dkk.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva langsung mempersilakan kuasa hukum Pemohon untuk menjelaskan dalil-dalil Pemohon. Pemohon menyampaikan sejumlah alasan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemohon, KPU memang memiliki kewenangan untuk memverifikasi syarat formal keanggotaan partai politik bakal calon anggota legislatif peserta Pemilu 2014.
“Namun berlebihan ketika kewenangan untuk memverifikasi tersebut diperluas melalui Pasal 21 ayat (1) pedoman teknis a quo sehingga mendeterminasi wewenang partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011,” urai Pemohon.
Dijelaskan Pemohon lagi, materi pedoman teknis tersebut juga secara material tidak taat asas sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6 huruf g UU No. 12 Tahun 2012, yaitu tidak mencerminkan asas keadilan.
“Selain itu, implementasi kewenangan KPU berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 dalam bentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 07 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota cenderung menitik beratkan perwujudan keadilan prosedural,” papar Pemohon.
Masih menurut Pemohon, wewenang KPU tersebut berpotensi mengeliminasi hak-hak konstitusional para Pemohon. Di samping itu, Pasal 16 ayat (1) huruf c juncto Pasal 16 ayat (3) UU Parpol menentukan bahwa para Pemohon hanya dapat memilih salah satu opsi, dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi para konstituen pendukung para Pemohon.
Dalam petitum, Pemohon menyatakan bahwa menyelesaikan masa bakti sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat merupakan kewajiban konstitusional konvensional, sesuai hukum dasar tidak tertulis dan/atau kewajiban konstitusional spiritual setiap anggota lembaga perwakilan rakyat, dan karena itu tidak menyelesaikan masa bakti dimaksud hanya dapat dibenarkan dan diabsahkan berdasarkan alasan-alasan konstitusional pula.
Pemohon menyampaikan pula, bahwa menjadi anggota partai politik peseta Pemilu 2014 dalam rangka memenuhi Pemilu 2014 sebagaiamana dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak menyebabkan anggota partai politik non-peserta Pemilu yang sementara menjadi anggota Lembaga Perwakilan Rakyat diberhentikan keanggotaannya dari partai politik asal dan tidak pula mesti berhenti dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat a quo.
Selanjutnya, dalam petitum-nya Pemohon menyatakan bahwa demi efisiensi, maka tanpa harus melaui proses judicial review di Mahkamah agung (MA), sifat konstitusional bersyarat Pasal 8 ayat (1) huruf c UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum tersebut mutatis mutandis berlaku juga terhadap semua produk hukum KPU yang terkait dengan Pemilu 2014. (Nano Tresna Arfana/mh)