Sidang uji materi UU Penyelenggara Pemilu kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi, Selasa pagi (7/5), dengan dihadiri Ramdansyah, mantan ketua Panwaslu DKI Jakarta selaku Pemohon, dihadiri pula Pemerintah dan Bawaslu. Reydonizer Moenek, staf ahli Kementeriaan Dalam Negeri dan Juru Bicara bidang Politik, Hukum dan Hubung antarlembaga, menampik dalil gugatan pemohon yang menuding putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat final dan mengikat adalah sebuah putusan yang tidak tepat karena DKPP bukanlah lembaga kehakiman. Sebaliknya, putusan DKPP tersebut telah sesuai dengan mekanisme dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut pria yang kerap disapa Doni ini, hal ini justru bertujuan demi menjaga integritas dan imparsialitas penyelenggara pemilu. “Penting dilakukan demi memberikan kepastian hukum dan menjaga netralitas penyelenggara, agar lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya,” tegasnya dalam sidang lanjutan yang dipimpin Akil Mochtar ini.
Sebagai lembaga kehormatan penyelenggara Pemilu yang kedudukannya independen dan bukan merupakan alat kelengkapan KPU dan Bawaslu, kedudukan DKPP mandiri dalam mengeluarkan setiap putusan. DKPP mengeluarkan putusan setelah melakukan verifikasi laporan yang masuk, dengan memeriksa para saksi, memerhatikan bukti-bukti dan mengambil putusan dalam rapat pleno.
Ia menambahkan, putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat, semata-mata demi menjaga kehormatan dan keluhuran penyelenggara Pemilu. Setiap lembaga negara yang harus dijaga kehormatannya, wajib memiliki komisi etik yang bertugas memeriksa pelanggaran kode etik. Semisal Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi kode etik hakim, Badan Kehormatan pada lembaga legislatif DPR, Kompolnas pada jajaran Kepolisian, yang seluruh putusan komisi etik tersebut bersifat final dan mengikat. Dengan kata lain, tidak ada yang salah dengan putusan final DKPP, karena putusan sejenis pun juga telah sering dikeluarkan oleh komisi etik lainnya. Menurutnya, DKPP tidak bertujuan menegasikan pengawasan yang dilakukan oleh KPU maupun Bawaslu, karena sesuai ketentuan, DKPP hanya menangani pelanggaran kode etik, sedangkan KPU berwenang menindak pelanggaran pemilu.
Senada dengan keterangan pemerintah, Endang Widianingtyas dari Divisi Hukum Bawaslu menilai, keputusan Bawaslu yang memberhentikan Ramdansyah dari jabatannya sebagai ketua Panwaslu DKI Jakarta pada 16 November 2012, telah tepat dan sesuai mekanisme hukum, karena hanya menindaklanjuti dan melaksanakan putusan DKPP yang memerintahkan pemberhentian tersebut. “Pemberhentian terhadap Ramdansyah terkait laporan M. Said tentang iklan asosiasi pedagang pasar se-Indonesia, Ramdan mengantarkan gugatan tim sukses salah satu pasangan calon ke Polda Metro Jaya. Siapa saja bisa langsung melaporkan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu pada DKPP, tidak harus melalui Bawaslu. Masyarakat umum bisa langsung ke DKPP,” urainya.
Hanya Rekomendasi
Di lain pihak, Ramdansyah saat ditemui Media MK usai persidangan kembali menegaskan keberatan atas pemberhentiannya sebagai ketua Panwas DKI Jakarta. Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan rekomendasi dan bukan sebuah putusan yang sifatnya final dan mengikat yang menutup haknya untuk menempuh upaya hukum lanjutan. Dalam hal ini, ia telah mengajukan gugatan ke PTUN yang juga menyebut telah terjadi kekeliruan hukum, karena DKPP yang bukan lembaga peradilan telah mengeluarkan putusan yang melebihi kewenangannya. “Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan rekomendasi dan bukan sebuah putusan final dan mengikat. Jelas saya sangat dirugikan dalam hal ini,” tegasnya mengakhiri sesi wawancara. (Juliette/mh)