Sejumlah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (6/5) siang. Kedatangan mereka diterima oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat di lantai 4 Gedung MK. Dalam pertemuan itu Arief menjelaskan latar belakang terbentuknya MK Republik Indonesia serta hal-hal lainnya yang terkait dengan konstitusi.
“Di awal reformasi kita memulai dengan mengubah UUD. Perubahan UUD 1945 dilakukan satu kali namun dengan empat tahap yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Perubahan UUD perlu dilakukan agar jangan sampai muncul penafsiran yang menyebabkan lahirnya kembali pemerintahan yang non-demokratis,” kata Arief kepada para mahasiswa.
Arief melanjurkan, konstitusi merupakan hukum dasar. Kalau hukum dasar mudah berubah, hal itu tidak baik. Kalau konstitusi sering berubah, bisa membuat situasi yang tidak menentu, tidak karuan. Berarti kalau UUD terlalu sering diubah, maka peraturan pelaksanaan yang mengikuti juga akan berubah konsekuensinya.
“Nah kalau tidak konsisten, yang muncul adalah ketidaktertiban hukum yang bisa menimbulkan suasana chaos,” ucap Arief.
Setelah dibentuk MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003, terjadi perubahan mendasar terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan menjadi terpencar, menerapkan sistem checks and balances, kekuasaan tidak terkelompok dan mengelompok pada satu cabang kekuasaan.
“Dengan demikian tidak ada lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yang ada adalah lembaga negara di tingkat pusat dan tingkat daerah,” ujar Arief.
Lebih lanjut Arief menjelaskan, Pasal 1 UUD 1945 mengalami perubahan agar norma-norma dasar yang tadinya di dalam Penjelasan UUD 1945 yang bernilai konstitusi, sekarang dimasukkan ke dalam pasal secara eksplisit.
“Perubahan Pasal 1 UUD 1945 mengatakan bahwa negara Indonesia, di ayat 1-nya adalah negara yang demokratis. Artinya, kedaulatan ada di tangan rakyat,” imbuh Arief yang juga menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Oleh karena itu, sambung Arief, kalau kita menyebutkan negara Indonesia yang dikaitkan dengan dua variabel tersebut, maka menjadi “negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis”. Bisa juga disebut sebagai “negara demokrasi konstitusional” yang berarti demokrasi berdasarkan konstitusi.
“Dulu Indonesia lebih banyak menalurikan sistem hukum yang dibangun negara-negara Eropa kontinental karena hukum kita mengadopsi sistem hukum Hindia Belanda,” terang Arief dalam pertemuan itu.
Kini Indonesia merupakan negara hukum Pancasila, tidak meniru negara hukum yang beraliran Eropa kontinental maupun negara hukum beraliran anglo saxon atau Amerika Serikat. Namun, hukum Indonesia saat ini tetap mendapat pengaruh dari dua aliran hukum tersebut.
“Bisa mendapat pengaruh dari rechsstaat maupun rule of law. Rechsstaat asas utamanya adalah asas legalitas. Sedangkan rule of law asas utamanya adalah equality before the law,” tandas Arief. (Nano Tresna Arfana/mh)