Sejumlah pejabat struktural dan fungsional Mahkamah Konstitusi (MK) mengikuti workshop Penyusunan Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK di Ruang Rapat MK pada Jumat (3/5). Seminar tersebut langsung dibuka oleh Sekretariat Jenderal MK Janedjri M. Gaffar.
Dalam sambutannya, Janedjri mengungkapkan perlu adanya seminar mengenai Penyusunan Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kepaniteraan dan Setjen MK. Hal tersebut menjadi penting karena MK sebagai lembaga peradilan sangat rawan terhadap upaya gratifikasi tersebut. “Seminar ini menjadi penting untuk mewujudkan lembaga peradilan yang bersih serta mewujudkan prinsip good governance di MK. Apalagi semua sisi di MK rawan terkena praktik tersebut,” ujarnya.
Menurut Janedjri, MK telah berupaya untuk mencegah adanya praktik gratifikasi di Lingkungan Kepaniteraan dan Setjen MK, di antaranya pelaporan LHKPN untuk setiap pegawai. Jika dalam kebijakan Menpan hanya mengharuskan pelaporan untuk beberapa pejabat, maka MK mengharuskannya untuk keseluruhan pegawai MK. “Selain itu, MK mengadakan pakta integritas hingga pembentukan unit gratifikasi,” jelasnya.
Perwakilan dari Direktorat Gratifikasi KPK Eddy menyampaikan mengenai gratifikasi dan menyosialisasikan Surat Himbauan Nomor B.143/01-13/01/2013 Terkait Gratifikasi tertanggal 21 Januari 2013. Gratifikasi merupakan sesuatu yang biasa dipahami dan dilakukan sehari-hari serta termasuk ke dalam jenis korupsi dalam UU Tipikor. “Gratifikasi ini lahir karena adanya kebiasaan yang salah, namun dianggap benar. Serta akibat hilangnya integritas dan inilah penyebab yg utama,” jelasnya.
Menurut Eddy, surat himbauan yang dibagikan kepada lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, gubernur/walikota dan laiinya tersebut menjelaskan himbauan untuk tidak menerima gratifikasi. Surat tersebut menyatakan tidak menerima/memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sesuai pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Meliputi uang/barang/fasilitas dalam rangka memengaruhi kebijakan/keputusan/perlakuan pemangku kewenangan; memenuhi pelayanan terkait dengan tugas, wewenang atau tanggung jawabnya; menjadi selama kunjungan dinas; dan dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pejabaUpegawai. dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan/perlakuan pemangku kewenangan,” terangnya. (Lulu Anjarsari/mh)