Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perkara Pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan, dan Anggota Lembaga Tinggi/Tinggi Negara, serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi dan Bekas Anggota Lembega Tertinggi/Tinggi Negara, Kamis (2/5). Perkara ini dimohonkan oleh Anggota DPRD Sidoarjo, Jawa Timur Periode 2009-2014, I Wayan Dendra yang didampingi Kuasa Hukumnya, Muhammad Soleh.
I Wayan Dendra melalui kuasa hukumnya mengatakan UU yang mengatur hak pensiun bagi anggota DPR RI itu dapat “meninabobokan” Anggota Legislatif DPR RI sehingga membuat mereka tidak kritis lagi terhadap pihak eksekutif.
“Tidak selayaknya anggota DPR sebagai lembaga atau badan politik ini yang dia bekerja hanya paling panjang lima tahun dan perlu dilakukan proses pemilihan lagi tapi malah mendapat dana pensiun. Kalau pegawai negeri kerja puluhan tahun, dia mendapatkan pensiun itu adalah sesuatu yang sangat wajar,” ujar Soleh menjelaskan argumentasi permohonan kliennya.
Menurut Pemohon, seperti yang dikatakan Soleh, UU tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan APBN harus dimaksudkan untuk kemakmuran rakyat. “Tapi kita melihat Pasal 12 sampai 21 UU ini (UU No. 12 Tahun 1980, red) justru APBN itu dipakai menghambur-hamburkan buat dana pensiun anggota DPR. Undang-undang ini juga tidak mengakomodasi anggota DPD karena dalam Pasal 2 UUD 1945, MPR adalah anggota DPR. Sedangkan Anggota DPD adalah produk reformasi sehingga belum diatur di dalam UU No. 12 Tahun 1980 ini,” lanjut Soleh menjelaskan UU No. 12 Tahun 1980 yang menurutnya sudah tidak relevan lagi digunakan saat ini.
Terkait dengan status kleinnya, Soleh menjelaskan bahwa sebenarnya hak antara anggota DPR, DPD, DPR Tingkat I, maupun DPRD Tingkat II sama secara politik sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. UU No. 27 Tahun 2009 tidak memberikan privilege terhadap anggota DPR dibanding anggota legislatif yang lain. “Mulai persyaratan misalkan, proses pemilihan, proses pelantikan, tugas, dan kewenangannya pun sama. Kalau mau jujur, bahkan Pemohon menganggap jelas lebih berat anggota DPRD kabupaten/kota dibanding anggota DPR. Kenapa? Karena anggota DPRD Tingkat II, day to day, berhadapan dengan konstituen,” urai Soleh mengenai hak kliennya.
Melihat tugas anggota DPRD yang lebih berat dan hak politik yang sama, Pemohon menganggap semestinya anggota DPRD juga mendapat hak pensiun layaknya anggota DPR. Namun, bubru-buru diklarifikasi oleh Soleh, Pemohon tidak berarti ingin mendapatkan pensiu melainkan ingin mengembalikan posisi anggota DPR kepada tugas awalnya, yakni menyampaikan aspirasi. Usai menyampaikan argumennya, Soleh meminta Mahkamah menyatakan Pasal 12 sampai 21 Undang-Undang No. 12 Tahun 1980 bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim, Muhammad Alim menyatakan secara umum permohonan pemoho sudah baik. Namun, Alim meminta Pemohon menjelaskan hubungan pasal yang diajukan untuk diuji dengan pasal yang dijadikan batu uji dalam UUD 1945, terutama kaitannya dengan pemberian pensiun.
Alim juga mengingatkan Pemohon untuk memberikan argumentasi terhadap kenyataan bahwa ada perbedaan golongan seperti juga yang terjadi pada anggota DPR dengan DPRD. “Jadi bagaimana Saudara mengelaborasi itu bahwa itu yang berbeda harus diperlakukan berbeda juga dan yang sama harus diperlakukan sama,” saran Alim.
Sementara itu, Hakim Anggota Panel, Arief Hidayat meminta Pemohon menguraikan dengan tegas kedudukan Pemohon.
“Nanti tolong diformat permohonan Pemohon yang mengatakan bahwa Pemohon adalah warga negara. Itu harus lebih dijelaskan. Kemudian yang kedua di materi permohonan, belum diuraikan lebih konkrit hak-hak konstitusional apa yang berkaitan dengan itu? Saya melihat sebetulnya kalau anggota MPR itu disebut sebagai pejabat negara. Sedangkan kalau DPRD sebetulnya lebih tepat memperjuangkan sebagai pejabat daerah, sehingga hak-haknya itu tidak sama persis sebagai pejabat lembaga tinggi negara,” jelas Arief untuk menjadi pertimbangan Pemohon.
Sedangkan hakim anggota, Ahmad Fadlil Sumadi meminta Pemohon untuk menambahkan argumentasi konstitusional karena dalam permohonan Pemohon belum ditemukan hal itu. (Yusti Nurul Agustin/mh)