Proses demokratisasi sangat sulit, bahkan bisa menimbulkan pertumpahan darah. Tetapi demokrasi bukan soal mayoritas saja, melainkan soal nilai yang ditegakkan dalam demokrasi.
Demikian ditegaskan Hakim Konstitusi Harjono kepada 35 orang anggota delegasi pemuda Mesir, yang melakukan studi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (02/04), terkait proses referendum amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) Mesir. Menurut Harjono, Indonesia memiliki falsafah dalam berdemokrasi yaitu Pancasila. Berdasar falsafah tersebut bangsa Indonesia menganggap musyawarah sebagai cara yang terbaik dibanding voting atau suara terbanyak dalam mengambil suatu keputusan.
Dalam kesempatan tersebut Harjono juga menjelaskan perjalanan mengenai terbentuknya MK kepada peserta delegasi yang difasilitasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK terang Harjono, lahir dari sebuah kondisi politik yang berawal pada tahun 1998 yaitu reformasi. Dalam gerakan reformasi itu ada tuntutan dari masyarakat antara lain kebebasan berpolitik, penegakan hukum, desentralisasi, Hak Asasi Manusia (HAM). “Tuntutan itu kemudian dipenuhi dalam perubahan Undang-Undang Dasar (UUD),” jelas Harjono
Harjono mengungkapkan, beberapa persoalan sebelum amandemen konstitusi dilakukan. Dikatakan olehnya, “setiap persoalan Undang-Undang (UU) yang terkait dengan konstitusi selalu diselesaikan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lebih banyak dilakukan melalui mekanisme politik.” Begitu pula dengan penafsiran masa jabatan presiden, bahkan dalam praktik ketatanegaraan di era presiden Soekarno, MPR pada waktu itu memilih Soekarno sebagai presiden seumur hidup. “Oleh karena itu, harus ada lembaga yang memiliki fungsi menafsirkan konstitusi, bukan lembaga politik tapi lembaga peradilan,” tegas Harjono, yang merupakan salah satu pelaku sejarah amandemen UUD itu.
Mantan anggota Panitia Ad Hoc I MPR itu juga mengatakan mekanisme penting lainnya yang dimasukkan dalam amandemen UUD adalah pemakzulan presiden. Menurut Harjono, sebelum amandemen UUD presiden diberhentikan oleh MPR melalui mekanisme politik tanpa melalui proses hukum, dimana keputusan ditentukan oleh suara mayoritas. Perubahan itu juga diikuti oleh mekanisme pemilihan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu seharusnya presiden tidak boleh mudah untuk dijatuhkan, karena dia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Harjono, keputusan presiden bersalah atau tidak bersalah secaa politik tetap berada di tangan MPR, namun keputusan hukum tetap berada di MK. Beberapa hal tersebut menjadi latar belakang mengapa Indonesia melakukan amandemen UUD.
Menjawab pertanyaan salah satu peserta kunjungan, Mukmin Said, anggota Reform Development Party, mengenai independensi hakim konstitusi, Harjono mengungkapkan masalah itu juga menjadi salah satu alasan dilakukannya amandemen UUD. “Tidak ada intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden terhadap MK, termasuk intervensi dari partai politik (Parpol),” ungkap Harjono.
Disampaikan olehnya, hakim konstitusi memiliki kebebasan dalam memutus suatu perkara, bahkan hakim berhak mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda terhadap suatu perkara, dan pendapat itu dicantumkan dalam naskah putusan. “Dengan kehadiran MK membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan kembali tinggi. Sebelum ada MK, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah,” ujar Harjono.
Terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Abdurrohman Adl, anggota Reform Development Party, mengenai peran dan hubungan parpol dengan masyarakat di Indonesia, Harjono menjelaskan parpol merupakan infrastruktur politik yang penting dan ikut disebut dalam UUD, anggota DPR harus berasal dari parpol, begitu juga dengan calon presiden. Menurutnya, parpol merupakan saluran aspirasi bagi rakyat di DPR, juga wujud dari HAM untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin oleh UUD. Karena itu, mekanisme pembubaran parpol juga berada di tangan MK.
Harjono mengungkapkan kepada peserta kunjungan, saat ini parpol di Indonesia sedang dalam posisi yang buruk akibat kehilangan kepercayaan dari masyarakat, karena banyaknya anggota DPR yang kesemuanya berasal parpol, terlibat dalam skandal korupsi. Menurut Harjono, terkuaknya kasus-kasus korupsi itu juga tidak lepas dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia, karena dengan demokrasi tidak ada lagi informasi yang ditutup-tutupi. (Ilham/mh)