Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ketiga Perkara No. 30/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Selasa (30/4). Sidang kali ini beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR terkait perkara yang dimohonkan tiga perusahaan penyediaan prasarana dan sarana untuk pusat kebugaran, yaitu PT Exertainment Indonesia, PT Fitindo Sehat Sempurna, dan PT Adhia Relaksindo serta para pengguna sarana serta prasarana pada pusat kebugaran.
Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi yang menjadi wakil Pemerintah dalam sidang ini menyampaikan opening statement Pemerintah terhadap permohonan Pemohon. Terkait legal standing Para Pemohon, Mualimin menyampaikan bahwa Pemerintah menganggap Para Pemohon tidak memiliki hak gugat (legal standing). Pasalnya, lanjut Mualimin, Pemerintah melihat Para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional akibat Pasal 42 ayat (2) huruf I UU No. 28 Tahun 2009. Pemerintah menganggap kerugian yang dialami Pemohon bukan disebabkan pasal tersebut karena dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 42 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 telah jelas disebutkan bahwa pemungutan pajak dan retribusi daerah atas pusat kebugaran (usaha Para Pemohon, red) oleh Pemerintah Daerah merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
“Pemerintah berpendapat Para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing sehingga sudah sepatutnya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Mualimin.
Sedangkan terkait pokok permohonan Pemohon, Mualimin mengatakan kebijakan penetapan pusat kebugaran sebagai objek Pajak Daerah bukan merupakan suatu hal yang baru. Mualimin melanjutkan bahwa di negara lain seperti di Amerika Serikat, health and fitness club dikenakan pajak pusat dan pajak daeraj sebagai bagian dari local sales tax.
Salah satu kebijakan dalam UU tersebut adalah memperluas basis pajak dengan menetapkan pusat kebugaran atau fitness center sebagai objek Pajak Hiburan. “Penetapan tersebut dilakukan di samping mempertimbangkan kemampuan untuk membayar dari penanggung pajak, juga melihat praktik yang berjalan di dunia internasional. Dengan adanya perluasan basis pajak tersebut diharapkan upaya peningkatan local taxing power dapat meningkatkan peranan Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara signifikan,” papar Mualimin.
Sementara itu Yahdil Abdi Harahap (Anggota Komisi III DPR) menyampaikan opening statement mewakili Pihak DPR. Yahdil mengatakan hal serupa seperti yang disampaikan Pihak Pemerintah. Ia mengatakan semua jenis hiburan, termasuk fitness center, dikenai pajak khusus sebagai perluasan objek pajak daerah. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan daerah sehingga tercipta kemandirian daerah dan peningkatan pelayanan. “Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, pemerintah daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang-undang,” ujar Yahdil.
Selain itu, Yahdil mengatakan pengertian fitness center dalam pasal tersebut yang dimohonkan Pemohon seharusnya dipahami dari sisi membutuhkan tempat khusus serta dipungut bayaran layaknya spa dan mandi uap. Sehingga, lanjut Yahdil, menurut ketentuan Pasal 42 UU No. 28 Tahun 2009 dikenai Pajak Hiburan karena dalam penyelenggaraannya dipungut bayaran. “Oleh karena itu, tidak ada diskriminasi terhadap jenis kegiatan yang dilakukan di dalam pusat kebugaran,” tukas Yahdil yang pada akhir keterangannya meminta Mahkamah menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)