Pertemuan tertutup antara Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah berlangsung di lantai 15 Gedung MK. Selasa (30/4) siang. Usai pertemuan itu Ketua MK mempersilakan pihak pers untuk menanyakan hasil pertemuan langsung dari gubernur Aceh. “Silahkan saja Anda menanyakan hasil pertemuan kami tadi dengan Pak Gubernur,” ujar Akil yang tak sempat berkomentar karena harus memimpin sidang MK siang itu.
Zaini Abdullah pun menggelar jumpa pers di Gedung MK. “Acara ini adalah acara silaturahim, ingin berbincang-bincang dengan Ketua MK yang sudah lama berkecimpung di Aceh saat pembentukan UU Pemerintah Aceh. Kedatangan kami bermaksud mencari solusi mengenai beda persepsi soal di-qanun-kannya tentang lambang dan bendera di Aceh,” kata Zaini Abdullah beserta segenap jajarannya.
Zaini membantah anggapan bendera di Aceh sekarang sebagai bendera kedaulatan. Itu tidak pernah terjadi, Aceh sekarang sudah damai setelah mengalami konflik selama 30 tahun, kemudian berdamai diHelsinkidalam masa enam bulan. “Dengan adanya perdamaian, itu artinya bahwa bendera kedaulatan adalah bendera RepublikIndonesia, merah putih. Tidak ada maksud Aceh keluar dariIndonesia. Saya kira, beda persepsi inilah yang kami harapkan mendapat solusi yang bijaksana, ” ucap Zaini.
“Kami harapkan agar beda persepsi itu bisa menyatu. Beda persepsi itu tidak perlu dikhawatirkan,” tambah Zaini kepada para wartawan dalam temu pers tersebut.
Menanggapi pertanyaan bahwa pemerintah pusat mempermasalahkan bendera RI yang sama dengan bendera GAM, Zaini menerangkan dengan gamblang. “Saya kira begini, kalau ditanya soal itu kepada saya, sebagai gubernur saya tidak bisa menentukan itu. Karena domain-nya ada di DPR sebagai wakil rakyat yang menetapkan suatu UU atau qanun yang disebut di Aceh,” tegas Zaini.
Ke depan, ujar Zaini, dialog yang diharapkan pihak Gubernur Aceh dengan pemerintah pusat mengenai persoalan itu adalah cukup banyak. “Banyak sekali yang kami harapkan. Karena menurut MoU Helsinki ada substansi-substansinya yang semua itu menjadi instruksi Presiden yang mengatakan bahwa substansi MoU Helsinki mesti diimplementasikan ke dalam UU Pemerintah Aceh. Yang sudah diimplementasikan adalah PP No. 20 yaitu mengenai dibenarkan partai politik lokal di Aceh. Sedangkan lainnya belum, padahal sudah bertahun-tahun sejak 2006,” tandas Zaini. (Nano Tresna Arfana/mh)