Kekuasaan itu cenderung untuk sewenang-wenang. Kekuasaan yang absolut akan absolut pula dengan kesewenang-wenangannya. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, kekuasaan itu harus dikendalikan, diorganisasikan, serta dibagi agar tidak mutlak dan terpusar.
Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat menerima kunjungan para guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SMA/MA Kota Padang, Senin (29/4) pagi di lantai 14 Gedung Mahkamah Konstitusi. Kedatangan rombongan para guru MGMP PKn SMA/MA Kota Padang dipimpin oleh Dalius.
Lebih lanjut Fadlil menjelaskan, pembagian kekuasaan terdiri atas tiga. Pertama, kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan membentuk undang-undang atas dasar kemauan rakyat. Kekuasaan legislatif di Indonesia dilaksanakan oleh MPR, DPR dan DPD. Selain itu, ada kekuasaan eksekutif yang merupakan kekuasaan menjalankan undang-undang dan dilaksanakan oleh Presiden.
Berikutnya, ada kekuasaan judikatif yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitusi. “Kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan negara yang memiliki karakter merdeka, diadakan untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan, manakala terjadi sengketa dalam penyelengaraan negara, atau antara warga negara, maupun antara negara dengan masyarakat dalam suatu negara,” urai Fadlil.
Lebih lanjut, Fadlil menjelaskan bahwa produk undang-undang di Indonesia pada masa lalu tidak bisa digugat, tidak dapat diuji sehingga undang-undang tidak bisa diganggu gugat. “Sejak tahun 1945 sampai reformasi 1998, pernahkah terdengar ada undang-undang yang diuji, sengketa kewenangan lembaga negara atau negara dengan perorangan? Jawabnya, tidak ada,” kata Fadlil.
“Bahkan untuk menunjuk seseorang melanggar undang-undang atau tidak melanggar undang-undang, hanya penguasa saat itu yang bisa. Orang lain tidak bisa. Bahwa negara adalah saya,” tambah Fadlil.
Oleh karena itu, sambung Fadlil, dilakukanlah reformasi politik pada 1998. Salah satu tuntutannya adalah menegakkan hukum di Indonesia, tidak membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan, penindasan, dan lainnya. “Setelah terjadi amandemen UUD 1945 pada 1999-2002, maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003,” ucap Fadlil.
Sebagaimana kita ketahui, MK RI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan MK RI adalah menguji UU terhadap UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus perselisihan pemilu termasuk pemilukada.
Sedangkan kewajiban MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana lainnya; atau perbuatan tercela, dan/atautidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/mh)