YOGYAKARTA(Suara Karya): Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, berharap agar penguatan kewenangan DPD pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan membuat proses legislasi lebih efisien. Hal ini pun disambut baik oleh Senat RI yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang di bawah dominasi DPR.
"Sesungguhnya putusan MK adalah perubahan luar biasa dalam proses legislasi. Tentu kita harapkan DPD bisa lebih efisien dalam membuat undang-undang (UU)," kata Irman dalam sambutannya ketika membuka kegiatan press gathering wartawan parlemen, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), akhir pekan lalu.
Turut hadir dalam diskusi di antaranya, Wakil Ketua DPD GKR Hemas dan La Ode Ida, Ketua Tim Litigasi DPD I Wayan Sudirta, dan sejumlah pengamat seperti pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Farul Falaakh dan Kuskridho Ambardi, dan B Hestu Cipto Hudoyo (Atma Jaya DIY).
MK melalui putusan No 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan DPD yang sebelumnya direduksi oleh UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), dan UU No 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (P3).
Putusan MK ini mengubah pola legislasi yang selama ini didominasi DPR dan presiden, menjadi pola tripartit. Dengan putusan MK, pola pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dilakukan oleh tiga lembaga yakni DPR, DPD dan presiden dalam membahas rancangan undang-undang (RUU).
"Putusan MK sangat positif sekali. Mengembalikan hak dan kewenangan DPD sebagaimana yang diatur konstitusi. Putusan ini momentum dalam memperbaiki perubahan legisasi nasional agar lebih baik," ucap Senator dari Sumatera Barat ini.
Dia menambahkan, diterimanya uji materi DPD atas UU MD3 dan UU P3, bukanlah bentuk kemenangan. "Ini bukan soal menang kalah. Semua demi penafsiran proses legislasi yang jelas antara DPR, DPD dan Pemerintah," ucapnya.
Pada kesempatan ini, I Wayan Sudirta menambahkan, dari beberapa poin uji materi (judicial review), empat poin di antaranya merupakan pokok eksistensi dan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang perlu ditegakkan kembali sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945.
Dia menyampaikan, empat poin itu yakni pertama, kewenangan DPD dalam mengajukan RUU setara dengan DPD dan Presiden. Kedua, DPD ikut membahas RUU.
Ketiga, kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU. "Keempat, keterlibatan DPD dalam menyusun program legislasi nasional (prolegnas)," ujar Senator asal Bali ini.
Dia menuturkan, satu hal menarik dari putusan MK adalah mengubah pola legislasi yang selama ini didominasi oleh DPR dan presiden menjadi pola tripartit.
"MK memberikan tafsir yang cukup progresif dalam kaitan pini yaitu memutuskan pembahasan legislasi dilakukan tiga pihak DPR, DPD, dan Presiden.
Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak mulai pembahasan pada tingkat I oleh komisi atau panitia khusus (pansus) DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas DIM serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di tingkat I.
Kemudian, DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan," kata Ketua Panitia Penyusun Undang-Undang DPD ini.
Sementara itu, Laode menilai dengan putusan MK tersebut maka menjadi tantangan tersendiri, agar DPD menunjukkan "taringnya" kepada rakyat, dalam menyikapi dan merespon aspirasi rakyat.
Seperti dalam kasus ujian nasional (UN), rencana kenaikan atau pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada awal Mei ini, dan sebagainya.
"Jadi, dalam kasus khususnya yang melibatkan daerah, DPD harus menunjukkan taring dan sikapnya yang pro rakyat, dan itu menjadi tantangan DPD," katanya mengingatkan.
GKR Hemas berharap setiap anggota DPD bisa merubah dirinya dalam memperjuangkan aspirasi daerah. Yaitu, DPD harus siap kerja keras, mental, pemikiran akademis, sosial politik dan kemampuan perekonomian untuk pembahasan prolegnas ketika berhadapan dengan DPR. "Anggota DPD harus menyiapkan diri secara mental dan pemikiran akademis untuk menghadapi DPR ," ujarnya.
Menurut Fadjrul, dengan kewenangan yang baru saat ini maka DPD ikut bertanggung jawab jika produk UU terus menurun. Hanya saja, kalau produk pembahasan perundang-undangan DPD itu tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah, atau diabaikan, maka tidak ada masalah dan itu sebagai konsekuensi politik.
Karena itu, jika DPD harus terlibat dalam memberikan persetujuan dan ketok palu dalam sidang paripurna DPR, maka hal itu harus dilakukan amandemen.
Persoalannya menurut Fajrul, apakah DPD siap menghadapi DPR. "Itu pasti kembali pada kepiawaian politik DPD dan perlu langkah-langkah bertahap DPD untuk melaksanakan putusan MK. Sedangkan DPR sendiri mungkin sedang mengkaji putusan MK tersebut sebelum melakukan rapat konsultasi dengan DPD RI," kata Fajrul.
Hestu juga menilai, jika saat ini DPD menjadi penyeimbang DPR dan presiden dalam menjalankan kewenangan konstitusinya, karena DPR dan presiden sama-sama dari parpol.