Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, bersama isteri Ida Laksmi Wati dan putrinya Ajeng Oktarifka Antasari Putri serta didampingi beberapa kuasa hukum, hadir dalam Sidang Perkara No. 34/PUU-XI/2013, Kamis (25/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Antasari, terdapat beberapa perbaikan dalam permohonannya kali ini. Salah satunya adalah ikut sertanya isteri dan anaknya sebagai Pemohon. Alasannya, karena isteri dan anaknya ikut merasakan katidakadilan dan menderita karena kehilangan sosok dirinya sebagai seorang yang dicintai.
Di samping itu, perbaikan lainnya, yakni terdapat penambahan batu uji yang digunakan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terdapat dua pasal tambahan yang digunakan Antasari untuk menguji ketentuan ini, yakni Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945.
Pada kesempatan tersebut, sempat diuraikan pula terkait perbedaan permohonan ini dengan permohonan lainnya yang pernah diputus oleh MK, sehingga tidak ne bis in idem (perkara yang sama pernah diputus pengadilan). Setidaknya terdapat tiga perbedaan, yakni pertama, permohonan ini fokus menguji KUHAP saja, tidak seperti permohonan lainnya yang juga menguji Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman secara bersama-sama. Kedua, berbeda dalam batu uji yang digunakan. Ketiga, berbeda dalam petitum permohonan. Di mana, dalam petitumnya, Antasari meminta MK menyatakan ketentuan tersebut inkonstitusional bersyarat, sedangkan dua permohonan sebelumnya meminta dinyatakan inkonstitusional tanpa syarat.
Sebelumya, Antasari menyatakan bahwa ketentuan Peninjauan Kembali (PK) yang hanya satu kali sebagimana dirumuskan dalam KUHAP, telah melahirkan ketidakadilan dan kerugian konstitusional bagi dirinya. Saat ini, dia sedang menjalani masa tahanan karena dinyatakan terbukti bersalah oleh MA dalam kasus pembunuhan Direktur Utama PT. Rajawali Putra Banjaran, Andi Nasrudin Zulkarnaen. Antasari sudah pernah mengajukan PK, namun ditolak oleh MA.
“Kemana kami harus adukan keadaan baru ini, kalau PK hanya satu kali. Karena kami sudah pernah PK. Sehingga kami tidak bisa PK lagi. Apakah itu adil?” ungkapnya dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. (Dodi/mh)