Penyelenggaraan negara yang sadar akan kekeliruan atas keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan dan kemudian mengubah kekeliruannya tersebut sesuai putusan pengadilan, agar sebuah putusan pengadilan ke depan lebih bermakna. Memang ada pihak yang merasa dirugikan, tetapi hal demikian adalah risiko demokrasi. Namun, yang pasti bahwa penghormatan terhadap putusan pengadilan hingga saat ini belumlah menjadi tindakan haram atau tindakan inkonstitusional.
Demikian antara lain inti pendapat Andi Irmanputra Sidin, ahli yang diajukan oleh Pihak Terkait (Marten A.Taha dan Budhi Doku) dalam sidang pembuktian PHPU Kota Gorontalo - Perkara No. 32, 33 dan 34//PHPU.D-XI/2013 - yang berlangsung pada Selasa (23/4) siang. Di antaranya, hadir ahli Termohon (KPU Kota Gorontalo), ahli Pihak Terkait dan pemeriksaan para saksi yang diajukan para pihak. Persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva ini berjalan maraton karena cukup banyaknya saksi yang hadir.
Menurut Irman, salah satu bentuk penghormatan yang diharapkan ditengah banyaknya putusan pengadilan tidak dilaksanakan, adalah bagaimana Putusan PTUN itu bisa diterima sesegera mungkin dan tidak perlu melakukan upaya hukum jikalau memang tidak ada kebutuhan kepentingan negara yang besar. “Artinya, idealnya adalah bagaimana para tergugat bisa serta-merta menerima putusan itu self respect atau self obedient untuk kemudian melaksanakan Putusan PTUN tersebut,” terangnya.
Beberapa prinsip dikemukakannya, yaitu prinsip res judicata pro veritate habetur. Menurut pendapat Irman, putusan pengadilan itu haruslah dianggap benar sebelum pengadilan yang lebih tinggi memutus lain. Sesungguhnya sudah terlekat kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat (erga omnes) kepada seluruh pihak. “Penerimaan atas putusan PTUN oleh tergugat yang mengeluarkan KTUN itu, dan kemudian secara mandiri atau sukarela mencabut KTUN yang dibuatnya. Sesungguhnya bukanlah tindakan yang haram, apalagi dikatakan inkonstitusional. Banyak upaya hukum yang dilakukan oleh penyelenggara negara justru sesungguhnya bertendensi mengulur waktu akan terkreasi keadaan hukum baru jikalaupun ingin dilaksanakan putusan itu kelak,” terang Irman meyakinkan. Selain itu, putusan yang berkekuatan hukum tetap saja susah pelaksanaannya.
Irman juga mengemukakan prinsip contraius actus, bahwa dalam setiap badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan KTUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Asas ini berlaku umum seiring dalam setiap KTUN tersebut ada klausula yang lazim muncul bahwa apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan atau kekhilafan, keputusan ini akan ditinjau kembali. “Jadi, intinya, melakukan tindakan otonom atau penerimaan sukarela atas sebuah putusan PTUN bagi penyelenggaraan negara, sesungguhnya bukanlah tindakan yang haram apalagi inkonstitusional,” jelas Irman menyimpulkan uraiannya berdasarkan prinsip tersebut sesungguhnya kekeliruan KTUN bisa diubah.
Selanjutnya mengenai makna hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan, kata Irman bahwa putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, pada prinsipnya mengandung pengertian tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan atasnya. Putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap memiliki setidak-tidaknya tiga kekuatan sempurna, yaitu kekuatan pembuktian, kekuatan mengikat, dan kekuatan eksekutorial. “Kekuatan yang menyempurnakan dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah kekuatan eksekutorialnya. Dengan putusan ini, pihak-pihak yang berperkara ditetapkan dengan maksud supaya apabila tidak ditaati secara sukarela, dapat dipaksakan dengan bantuan, atau alat, atau mekanisme paksa yang diatur oleh negara dalam undang-undang,” jelas Irman.
Tidak hanya prinsip diatas, Irman juga menyampaikan prinsip presumption iustae causa, bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan atau badan atau pejabat tata usaha negara serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Namun jikalau ternyata penyelenggara pemilu yang sedang melakukan tugas konstitusionalnya tidak membutuhkan jaminan prinsip presumption iustae causa dan tidak membutuhkan sifat eksekutorial dari putusan yang menjadi senjata penggugat untuk menggunakan alat atau mekanisme paksa negara, maka penyelenggara pemilu berdasarkan prinsip res judicata dan prinsip contrarius actus dapat mengubah KTUN-nya dengan otoritas mandiri atau penerimaan sukarela meski kemudian masih ada tergugat intervensi melakukan upaya hukum.
Sebagaimana diketahui, keberatan yang diajukan Pemohon Perkara No. 33/PHPU.D-XI/2013 (H. Adhan Dambea - Inrawanto Hasan, sebagai pasangan calon nomor urut 3) mengenai putusan PTUN yang masih dalam proses banding yang telah membatalkan Surat Keputusan KPU Kota Gorontalo dan KPU menerbitkan Surat Keputusan tentang pembatalan nama pasangan calon (Adhan Dambea dan Inrawanto Hasan) sebagai Peserta Pemilukada yang dianggap merugikan pasangan calon. Feriyanto Mayulu dan Abdurrahman Abubakar Bahmid sebagai pasangan calon nomor urut 1 (Perkara No. 32/PHPU.D-XI/2013) juga menyoal pembatalan dilakukan tetapi tidak diumumkan dan adanya praktik money politic. Sedangkan A.W. Talib dan Ridwan Monoarfa sebagai pasangan nomor urut 4 (Perkara No. 34/PHPU.D-XI/2013) menyoal rekapitulasi hasil penghitungan suara tanpa nomor dan tidak ditindaklanjuti surat keputusan KPU serta mempersoalkan pembatalan pasangan nomor urut 3 merugikan diarinya menjadi peserta Pemilukada berdampak terhadap hasil akhir Pemilukada.
Selain ahli Pihak Terkait, hadir pula H.A.S. Natabaya sebagai ahli Termohon yang mengemukakan di persidangan mengenai pihak-pihak yang bisa menjadi Pemohon untuk beracara di MK adalah pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil pemilukada. Sedangkan Pemohon sebagai pasangan yang dibatalkan bukan peserta dari pemilukada. “Bagaimana dia bisa menjadi pihak di dalam sengketa, maka ini, orang ini atau pihak tersebut tidak mempunyai legal standing sebagaimana diatur oleh Pasal 3 (PMK) Nomor 5 Tahun 2008 karena dia tidak punya kepentingan,” terang mantan hakim konstitusi tersebut. Natabaya juga membenarkan apa yang dilaksanakan oleh KPU melaksanakan pemilukada berdasarkan ketentuan putusan daripada PTUN ini.
Setelah pemeriksaan keterangan ahli dilanjutkan pemeriksaan para saksi, antara lain saksi Panwaslu Rauff Ali yang mengemukakan soal money politic, kode etik, administrasi, dugaan politik praktis dengan mobilisasi PNS. “Money politics itu yang pertama tanggal 26 di Kelurahan Pohe,” jelasnya. Modus operandi money politic, sambung Rauff, dengan pembagian beras bersama mie ABC. Kemudian didengarkan kesaksian Termohon antara lain Syamsudin Yusuf (Ketua PPS Dulomo Utara), Femy K. Usman (anggota PPK Sipatana), Asni Abubakar (Ketua KPPS di TPS 6 Kelurahan Dulalowo Timur), Selfin Mosii (anggota KPPS TPS 8 Kelurahan Liluwo).
Sedangkan saksi Pihak Terkait, yakni Septiadi S. Rahim, Neli Achmad, Suleman Pirus dan yang lain yang membantah saksi-saksi yang menguatkan permohonan perkara ini. Septiadi S. Rahim misalkan membantah keterangan Lurah Pohe (Abdullah Lasena) yang mengatakan telah menangkap mobil truk yang mengangkut beras raskin. “Justru sebaliknya saat mobil truk yang mengangkut beras raskin datang, tiba-tiba Abdullah Lasena langsung naik di atas mobil tersebut, lalu mengatakan ini beras dari salah satu pasangan calon dan memprovokasi warga,” ujar Septiadi.
“Beras raskin tersebut bukan merupakan bantuan dari Golkar seperti yang diprovokasi oleh Abdullah Sena dari truk. Namun beras raskin tersebut merupakan bantuan dari Dinas Sosial Kota Gorontalo,” tambah Septiadi.
Neli Achmad ibu rumahtangga di Kecamatan Dungingi menjelaskan, pertengahan April 2013 di aula Kelurahan Huangoboto ada kegiatan PKH (Program Keluarga Harapan) yang dihadiri Camat Dungingi, Kepala Dinas Sosial Kota Gorontalo dan Lurah Huangoboto. Dalam pertemuan tersebut Camat Dungingi menyatakan kepada peserta yang hadir, bahwa akan ada pembagian beras raskin dan hal itu merupakan bantuan pribadi dari Adhan Dambea sebagai calon nomor urut 3. “Pada pertemuan itu Pak Camat juga mengarahkan kepada yang hadir untuk memilih pasangan nomor urut 3,” tandas Neli. (Nano Tresna Arfana/Miftakhul Huda)