Mahkamah konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang diajukan oleh tiga mahasiswa dan seorang ibu rumah tangga yang menilai UU Dikti telah merugikan hak konstitusionalnya, karena tidak memiliki kepastian hukum yang mengakibatkan timbulnya suatu politik dalam pengelolaan otonomi di suatu universitas.
Pada sidang kedua yang berlangsung di Ruang PlenoMK, Rabu (24/4), dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, didampingi oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Harjono. Kuasa hukum Pemohon Pratiwi Febri menyatakan, pihaknya telah memperbaiki permohonan berdasarkan saran dan masukan majelis hakim pada sidang sebelumnya. “Setelah perbaikan, kami hanya fokus menguji dua norma saja, yakni pasal 64 dan pasal 65. Karena pasal inilah yang menjadi ruh dari UU Dikti,” ujarnya.
Adapun alasan pengujian ini dikarenakan UU Dikti telah menyimpangi otonomi pengelolaan perguruan tinggi secara akademis. Sehingga mengingkari hakikat keberadaan pendidikan tinggi, untuk mencerdaskan bangsa, serta berpotensi besar melanggar hak konstitusional warga negara.
Pratiwi mengatakan, berdasarkan pada putusan MK sebelumnya, terkait badan hukum pendidikan, telah ditegaskan bahwa suatu badan pendidikan, meskipun boleh berbadan hukum, pada intinya tidak boleh menghilangkan kewajiban negara dalam mengelola pendidikan.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, permohonan yang diajukan oleh ketiga mahasiswa, dan seorang ibu rumah tangga ini, akan disampaikan dalam rapat pleno hakim, untuk ditentukan apakah akan dilanjutkan pemeriksaaanya ke dalam sidang pleno dengan mendatangkan pihak pemerintah dan DPR, atau sudah dianggap cukup dan segera diputus. (Panji Erawan/mh)