Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi narasumber Seminar Nasional “Sistem Ketatanegaraan Indonesia” yang berlangsung di Gedung MPR, Rabu (24/4) siang. Acara itu dihadiri pula oleh Ketua MPR Taufik Kiemas, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin, Ketua DPD Irman Gusman, dan lainnya.
Harjono mengemukakan, negara Indonesia adalah negara kebangsaan, artinya bukan negara kewangsaan dan bukan negara golongan. Sifat negara kebangsaan, antara lain all inclusive, pluralistis lintas kelompok, golongan, etnis, agama, budaya daerah.
“Negara Indonesia adalah negara konstitusional, dasar hukumnya Pembukaan UUD 1945. Selain itu negara Indonesia adalah negara demokrasi,” ungkap Harjono yang didampingi moderator Rully Chairul Azwar serta narasumber lainnya, Yudi Latif.
Dikatakan Harjono, negara yang dikehendaki Pembukaan UUD 1945 adalah negara kebangsaan yang konstitusional demokratis. Negara Indonesia adalah wahana bangsa Indonesia untuk merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hal ini dilakukan dengan cara internal, antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta cara eksternal yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Negara melakukan fungsinya sebagai wahana yang terlihat dari aktivitasnya yaitu negara memerintah, negara dalam keadaan bergerak,” imbuh Harjono.
Harjono juga menjelaskan perihal Pancasila sebagai way of life, volkgeist, jiwa bangsa, tumbuh bersama dengan tumbuhnya bangsa Indonesia. Pancasila juga sebagai filosofishe grounslag, sebagai dasar falsafah atau weltanschauung, staatsidee dari negara. Pancasila juga merupakan rancang bangun negara atau negara sebagai wahana bangsa Indonesia, yang dirumuskan pada 22 Juni 1945 dan diterima secara nasional pada 18 Agustus 1945.
Sementara itu Arief Hidayat menerangkan, saat ini bangsa Indonesia sudah mampu membangun struktur yang mengalami perubahan sejak tahun 1945 hingga awal reformasi. Indonesia membangun struktur, lembaga, kemudian diuji coba, termasuk juga mampu membangun substansi hukum. “Substansi yang kita bangun sudah menunjukkan ke arah cita-cita sebagaimana kita bersama mendirikan negara ini berdasarkan prinsip demokrasi,” ucap Arief.
Namun, lanjut Arief, yang terjadi kemudian banyak orang yang pesimis dengan apa sudah dilakukan bangsa Indonesia belakangan. Banyak penyimpangan demokrasi Indonesia karena lupa membangun yang disebut kultur hukum, kultur politik. “Kalau subtansi hukum sudah kita bangun, tetapi kultur hukum belum kita bangun. Kultur ini ruh dari struktur, ruh dari substansi yang sudah kita bangun,” ungkap Arief.
Arief teringat seorang filsuf zaman Yunani yang mengatakan, “Sebetulnya bernegara itu mudah kalau bernegara itu dipimpin oleh orang-orang baik.“ Dari sini sebetulnya, republik ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang baik di skala nasional maupun daerah.
“Ada kesamaan persepsi di antara mereka, harus ada trust di antara mereka. Bernegara itu mudah kalau masyarakat kita adalah yang high trust society, terjadi pada masa Bung Karno. Dengan demikian, perbedaan yang bersifat paradoks di antara mereka bisa bertemu menjadi satu ideologi yaitu Pancasila. Intinya adalah gotong royong, saling percaya dan orientasi yang sama untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” papar Arief.
Lebih lanjut Arief memberikan saran agar bangsa Indonesia dapat menjadi high trust society. Sarannya, selain menerapkan sistem demokrasi dan nomokrasi, yang tidak boleh terlupakan adalah teokrasi.
“Dengan demikian, demokrasi di Indonesia harus dibangun dengan teo demokrasi Indonesia, teo demokrasi Pancasila. Jadi, pertanggungjawaban kita tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Tuhan yang Maha Esa,” tandas Arief. (Nano Tresna Arfana/mh)