Berdasar amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kewenangan konstitusional untuk dapat memberikan persetujuan atau tidak dapat memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Oleh karenanya terhadap calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak serta-merta harus disetujui oleh DPR. Harus ada proses penilaian, harus ada proses pemilihan untuk dapat disetujui atau tidak dapat disetujui oleh DPR.
Demikian diungkapkan Syarifuddin Sudding, anggota komisi III DPR, yang mewakili DPR dalam sidang pengujian Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), dengan nomor perkara 27/PUU-XI/2013, pada hari selasa 23/04/2013, di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Sudding menjelaskan, bahwa Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat lebih teknis mengenai mekanisme pengusulan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial kepada DPR. “Oleh karenanya menurut pandangan DPR hal-hal tersebut adalah menjadi legal policy pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dalam undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 24A ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tukas Sudding
Hal senada juga diungkapkan Mualimin Abdi selaku wakil pemerintah dalam persidangan tersebut. Menurutnya, persetujuan juga harus dimaknai sebagai bagian dari proses seleksi. “Sebagaimana yang sudah disampaikan oleh DPR maka harus ada proses, harus ada mekanisme yang kemudian mekanisme itu sendiri ditentukan atau diatur di dalam undang-undang, sebagaimana yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon itu sendiri,” ujar Mualimin, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kemenkumham.
Lebih lanjut Mualimin menjelaskan, dalam pengisian calon hakim agung, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakkan keadilan, pengisiannya memerlukan mekanisme dan cara-cara yang teliti, cermat, dan akurat agar diperoleh hakim agung yang memiliki integritas yang memadai. Jikalaupun benar anggapan Para Pemohon tersebut bahwa ada hal-hal yang berbeda antara UU MA dan UU KY dengan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, maka hal itu adalah kewenangan pembentuk UU untuk menyelaraskannya, melalui perubahan UU karena merupakan legal policy atau pilihan kebijakan yang sifatnya terbuka.
Sebelumnya, Made Darma Weda, R.M. Panggabean dan St. Laksanto Utomo, tiga orang dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Sahid (Usahid) Jakarta, mempersoalkan Pasal 8 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), yang mengatur mekanisme seleksi hakim agung. Menurut Para Pemohon mekanisme pemilihan hakim agung yang diatur dalam UU MA dan KY berbeda dengan mekanisme pemilihan hakim agung yang termaktub dalam UUD. Akibat adanya perbedaan itu, ketiganya merasa dirugikan karena gagal terpilih menjadi hakim agung dalam seleksi hakim agung di DPR.
Sidang berikutnya akan dilanjutkan pada hari Kamis 16/05/2013, untuk mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh Para Pemohon. (Ilham/mh)