Sidang pembuktian perkara PHPU Kota Gorontalo 2013 - Perkara No. 32, 33 dan 34/PHPU.D-XI/2013 - kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (22/4) sore. Agenda sidang diantaranya mendengarkan keterangan Maruarar Siahaan selaku Ahli dari Pemohon Perkara No. 33, Adhan Dambea dan Inrawanto.
”Saudara Ahli dihadirkan di sini sebagai ahli di bidang hukum administrasi negara. Pertanyaan kami, jika dalam sengketa tata usaha negara, penggugat menggugat tergugat yang dalam proses persidangan ada pihak yang merasa berkepentingan dan memohon ditetapkan sebagai tergugat intervensi. Kemudian ada putusan pengadilan.Tergugat I menerima putusan, sedangkan tergugat II intervensi menolak dan mengajukan banding. Apakah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau belum?” tanya Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Pemohon Adhan Dambea dan Inrawanto.
”Saya kira sederhana saja jawabannya, salinan putusannya sendiri tentu akan menjelaskan tentang itu. Bahwa putusan yang dikeluarkan kalau memang ada, tentu akan dibuatkan kualifikasi apakah itu apakah berkekuatan apa tidak. Tetapi secara doktrin ilmu hukum jelas sekali bahwa dia salah satu pihak. Kalau diajukan banding, saya kira terang benderang bahwa putusan demikian belumlah mempunyai kekuatan hukum tetap,” jelas Maruarar.
Selanjutnya Yusril kembali bertanya kepada Maruarar, ”Baik, itu sudah dijadikan alat bukti tertulis dalam persidangan ini. Kemudian dalam hal putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap oleh karena tergugat intervensi mengajukan banding. Apakah dibolehkan menurut hukum administrasi negara, tergugat I langsung melaksanakan keputusan itu yang amarnya memang memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut surat keputusannya. Dengan alasan bahwa dicabut putusannya itu oleh karena tergugat menerima meskipun tergugat intervensi mengajukan banding?”
”Perkara yang sangat terang benderang juga pengaturannya, tetapi toh bisa terjadi bahwa KPU yang jelas-jelas sebenarnya sebagai tergugat dalam hal itu, dalam Undang-Undang Peratun terikat kepada ketentuan yang menyatakan bahwa kalau keputusan belum berkekuatan hukum tetap, hal itu tidak bisa dilaksanakan,” terang Maruarar kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Maruarar mengatakan, keputusan KPU itu benar, tetapi ketika putusan itu keluar, putusan PTUN yang membatalkan tanpa amar langsung dilaksanakan dengan membatalkan semua putusan. ”Hal itu menjadi sangat mencengangkan. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena kalau ini terjadi, kualifikasinya sudah jelas dalam hak konstitusional,” imbuh Maruarar.
Lebih lanjut, Maruarar menjelaskan hal yang berkaitan dengan legalisasi ijasah. Dikatakan Maruarar, legalisasi sebenarnya hanya ingin menyatakan suatu surat keterangan itu sesuai dengan aslinya atau tidak. Oleh karena itu, kalau melihat peraturan-peraturan administratif yang terjadi, Maruarar menyarankan agar kembali kepada putusan MK.
”Jika memang suatu kebenaran materil yang diterangkan oleh suatu surat tersebut adalah sesuai, sebenarnya peraturan administratif itu harus dilihat bahwa tidak boleh menghalangi hak konstitusional. Itu salah satu putusan Mahkamah Konstitusi. Karena peraturan-peraturan administratif yang bagaimana pun adalah untuk mendukung kebenaran materil,” tambah Maruarar.
Dalam persidangan, Mahkamah juga menghadirkan sejumlah saksi. Di antaranya, ada Lian Mada sebagai Saksi dari Pasangan Feriyanto Mayulu dan Abdurrahman Bahmid (Pemohon Perkara No. 32). Lian menuturkan, sebelum hari H pemilukada, ia diminta memilih calon nomor urut (Rusli Habibie, masih sebagai Gubernur Gorontalo). “Terus kita antre mengambil beras dan uang dari petugas-petugas PNS dari Bapak Gubernur,” ucap Lian.
Penjelasan Lian ternyata dibenarkan oleh Irje Karim dan Leni Dunggio yang juga Saksi dari Pemohon Feriyanto Mayulu dan Abdurrahman Bahmid. Mereka berdua mendapat kupon untuk mengambil beras sebanyak 3 liter pembagian dari Gubernur Gorontalo. Selain itu mereka menerima pembagian uang sebesar Rp 20.000.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara No. 32 adalah pasangan Feriyanto Mayulu - Abdurrahman Bahmid, sedangkan Pemohon Perkara No. 33 adalah Adhan Dambea - Inrawanto, sementara Pemohon Perkara No. 34 adalah A.W. Talib - Ridwan Monoarfa. Sebagai Termohon adalah KPU Kota Gorontalo, sedangkan Pihak Terkait adalah Marten Taha dan Budi Doku.
Feriyanto Mayulu dan Abdurrahman Bahmid menuduh kecurangan Termohon yang membiarkan pasangan calon yang bukan calon peserta Pemilukada, Adhan Dambea dan Irwanto Hasan selaku pasangan calon nomor urut 3 masih diperbolehkan kampanye sesaat sebelum berlangsung Pemilukada dan sesudah Pemilukada berlangsung.
Selanjutnya, Pemohon Adhan Dambea-Inrawanto menyampaikan bahwa berdasarkan putusan PTUN atas Perkara No. 05/G/2013/P.TUN.Mdo dan No. 06/G/2013/P.TUN.Mdo membatalkan Surat Keputusan KPU Kota Gorontalo tersebut. Oleh karena itu, meminta Majelis Hakim agar memerintahkan KPU Kota Gorontalo untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang pada Pemilukada Kota Gorontalo 2013.
Panhar Markawi selaku kuasa hukum Pemohon A.W. Talib dan Ridwan Monoarfa juga meminta Majelis Hakim agar memerintahkan KPU Kota Gorontalo untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang yang diikuti oleh pasangan calon yang memenuhi syarat. (Nano Tresna Arfana/mh)