“Apakah Majelis Ulama Indonesia menjadi salah satu pihak sengketa kewenangan lembaga negara?” tanya Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Irfan Nurrahman menguji kemampuan para pelajar kelas 4 SD Islam Al-Azhar 20 Cibubur usai memberikan “pelajaran” singkat di MK, Senin (22/4) siang.
“Bisa Pak, kalau mendapat izin Ketua MK,” kata salah seorang pelajar. Kontan, jawaban itu membuat yang hadirin tertawa. Sementara yang lain, ada yang menjawab, “Tidak bisa Pak. Karena dia (MUI) adalah ustadz,” jawab pelajar lainnya. Jawaban spontan tersebut lagi-lagi membuat yang hadir tertawa riuh.
Akhirnya, Irfan Nurrahman menerangkan mengenai jawaban yang benar. Bahwa memang Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak bisa berperkara terkait sengketa kewenangan lembaga negara. Karena pembentukan MUI tidak diatur melalui UUD 1945. Itulah sekilas kepolosan anak-anak belia memahami konstitusi negeri ini. Keberanian dan spontanitas mereka patut dihargai.
Meskipun begitu, tak sedikit di antara mereka yang cukup hafal perihal konstitusi. Misalnya saat ditanya mengenai rekrutmen hakim konstitusi, sebagian besar pelajar ternyata mengetahui hakim konstitusi diseleksi dari tiga unsur: Pemerintah, DPR, Mahkamah Agung. Selain itu mereka hafal beberapa wewenang MK, antara lain menguji UU terhadap UUD 1945, membubarkan partai politik, memutus sengketa pemilu. Termasuk juga hafal tiga cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif dan judikatif.
Dalam pertemuan itu, Irfan juga menjelaskan seputar perubahan UUD 1945 pada 1999. Bahwa perubahan UUD 1945 merupakan satu tahapan dengan empat kali perubahan. Setelah konstitusi diubah, ada beberapa segi yang turut diubah. “Kalau sebelumnya disebutkan kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR. Dalam UUD 1945 hasil perubahan, diubah menjadi kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD,” ujar Irfan.
Dikatakan Irfan, perubahan UUD 1945 menimbulkan beberapa akibat hukum. Di antaranya mengenai kedudukan MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara, diubah sebagai lembaga tinggi negara dan kedudukannya sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, Presiden, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan lainnya.
“Lantas, apa yang paling tinggi kedudukannya saat ini di Indonesia? Yang paling tinggi adalah UUD 1945, sebagai konstitusi. Karena Indonesia tidak lagi menganut prinsip bahwa MPR lah yang merupakan lembaga tertinggi negara. Kita menganut prinsip bahwa yang paling tinggi adalah hukum atau UUD,” urai Irfan.
Dari konstitusi itulah kemudian kekuasaan-kekuasaan itu dibagi dalam ke dalam beberapa cabang kekuasaan negara. Pertama, kekuasaan eksekutif sebagai yang melaksanakan UU. Kedua adalah kekuasaan legislatif sebagai pembuat UU. Lantas yang ketiga adalah kekuasaan yudikatif sebagai lembaga peradilan.
“Saat ini lembaga yudikatif, selain Mahkamah Agung juga kita mengenal Mahkamah Konstitusi. Hasil perubahan UUD 1945 menghasilkan tiga lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi (MK),” tandas Irfan kepada para bocah-bocah belia itu. (Nano Tresna Arfana/mh)