Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Martin Hutabarat dan perwakilan Pemerintah Reydonnyzar Moenek menegaskan bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) telah menjamin keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif. Karena telah memberikan perlakuan khusus (affirmative action) kepada perempuan dan sejalan dengan konstitusi.
Demikian hal tersebut disampaikan dalam Sidang Perkara No. 20/PUU-XI/2013 pada Selasa (16/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Menurut Martin Hutabarat, Pasal 56 ayat (2) beserta penjelasannya dan Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif sebagaimana diuji oleh Pemohon, merupakan salah satu bentuk penyempurnaan dan perubahan dari ketentuan yang terdapat dalam UU Pemilu Legislatif sebelumnya.
“Khususnya terkait peluang dan kesempatan yang cukup kepada kaum perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif yang mengatur bahwa daftar bakal calon memuat sedikit-dikitnya harus 30% mewakili keterwakilan wanita atau perempuan,” ungkap Martin.
Menurutnya, Pasal 56 ayat (2) UU Pemilu Legislatif dan penjelasannya, telah membuka peluang yang cukup bagi bakal calon perempuan untuk dapat ditempatkan pada nomor urut 1, atau 2, atau 3 dan seterusnya dalam daftar bakal calon anggota legislatif.
Begitupula terhadap Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif yang telah memberi ruang untuk dipertimbangkannya keterwakilan perempuan dalam penentuan calon terpilih. “Dimana, jika terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan suara terbanyak dengan perolehan suara yang sama, maka wanita akan diberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar,” paparnya.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa ketentuan itu sama sekali tidak menghalangi bakal calon perempuan untuk ditempatkan pada nomor urut kecil. Selain itu, kata Martin, ketentuan ini juga tidak melarang penempatan bakal calon perempuan secara berurutan.
Di samping itu, ujar Martin, permohonan pemohon juga sangat berkaitan dengan putusan MK yang menyatakan penentuan calon legislatif terpilih dengan sistem suara terbanyak. Sehingga, menurutnya, sebenarnya penempatan bakal calon legislatif perempuan tidak mempengaruhi tingkat keterpilihan. “Baik di nomor satu ataupun dua dan seterusnya, posisinya sama dengan calon yang lain, termasuk laki-laki. Putusan MK malah yang menjadi tantangan bagi wanita, karena sebenarnya DPR sudah memberikan kesempatan yang luas bagi perempuan,” paparnya.
Seirama dengan pandangan DPR, Reydonnyzar Moenek juga menyatakan bahwa permohonan Pemohon sangat berkaitan dengan putusan MK tentang suara terbanyak. “Sehingga penempatan perempuan dalam nomor urutan berapapun tidak secara serta-merta mempengaruhi keterpilihan dalam Pemilu,” tuturnya.
Dia menilai, adanya ketentuan yang diuji Pemohon tersebut, tidak dalam posisi merugikan hak konstitusional perempuan, tapi justru ingin memperkuat keberadaan dan kedudukan perempuan dalam sistem keterwakilan. Di mana, tujuan utamanya adalah mengawal keterwakilan perempuan di dalam penghitungan penetapan calon terpilih.
“Keterwakilan perempuan dalam undang-undang ini lebih memperkuat konstruksi penghormatan dan penghargaan kita untuk memberdayakan perempuan sehingga perempuan dapat berkiprah secara lebih luas dalam dinamika politik di Indonesia,” ujar Reydonnyzar.
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar pada Kamis (25/4) pukul 10.30 WIB, di Ruang Sidang MK. Rencananya Pemohon akan menghadirkan dua ahli untuk didengarkan keterangannya. (Dodi/mh)