Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Goffar menerima kunjungan dari 34 siswa SMAN 1 Sorolangun di ruang konferensi pers, lantai 4, Gedung MK, Senin (8/4). Siswa Kelas 2 Jurusan IPA dan IPS tersebut berkunjung ke MK dalam rangka study tour untuk lebih mengenal MK. Memenuhi keingintahuan para siswa tersebut, Abdul Goffar memaparkan materi seputar fungsi dan kewenangan MK.
Abdul Goffar di hadapan para siswa berseragam atasan putih dan bawahan abu-abu itu memaparkan bahwa pada sistem ketatanegaraan sebelum adanya perubahan UUD 1945, terdapat lembaga tertingi dan lembaga tinggi negara. Sistem tersebut, lanjut Goffar menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sedangkan DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA berada pada posisi yang sederajat.
Saat itu, lanjut Goffar, bila ada perselisihan atau sengketa antarlembaga negara secara teori dimediasi oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, pada praktiknya ketika ada sengketa antarlembaga negara mediasi itu tidak dilakukan. Sebab pada praktiknya, MPR adalah lembaga yang dua per tiga anggotanya berasal dari penunjukkan dan pengangkatan oleh presiden. Sedangkan sisanya sebanyak sepertiga anggota MPR diisi dari hasil Pemilu yang kerap kali dimenangkan partai penguasa saat itu. Dengan begitu, MPR sebagai lembaga tertinggi negara tetap “dikuasai” presiden.
“MPR pada akhirnya tidak mungkin diisi dengan orang-orang yang bertentangan dengan presiden. Walhasil, meski MPR merupakan lembaga negara tertinggi tetap saja presiden yang berkuasa,” ungkap Goffar yang juga menyampaikan contoh ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri, Harmoko yang menjabat sebagai Ketua MPR saat itu sampai meminta Presiden Soeharto kembali menjabat sebagai presiden untuk periode 1998-2003 sebelum pelaksanaan Sidang Istimewa MPR.
Sementara setelah perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan di Indonesia menjadi horizontal fungsional, bukan vertikal hierarkis. Dengan begitu, MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan sederajat dengan lembaga negara lainnya. Karena posisi antar lembaga sudah sederajat, ketika ada sengketa di antaranya, maka tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang menengahi. Pada kondisi tersebut, maka diperlukanlah lembaga independen yang berwenang menengahi perselisihan antar lembaga negara lewat kewenangannya memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara (SKLN).
Kemudian Goffar menjelaskan kewenangan MK lainnya, yaitu memutus pembubaran partai politik. Sama seperti sebelumnya, Goffar terlebih dulu menjelaskan mengenai sejarah munculnya kewenangan MK untuk memutus pembubaran partai politik. Goffar menjelaskan bahwa dulu kewenangan untuk membubarkan partai politik ada di tangan pemerintah. Goffar mencontohkan, pada kepemimpinan Presiden Soekarno beberapa partai politik yang berseberangan dengan presiden dibubarkan. Begitu pula pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto terjadi merger/penggabungan partai politik menjadi dua partai yakni partai nasionalis menjadi PDI dan partai agamis nasionalis menjadi PPP.
Kejadian itu menjadi dasar “berpindahnya” Kewenangan untuk membubarkan partai politik dari pemerintah ke MK. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah adanya unsur kepentingan politik saat membubarkan partai politik. “Bisa saja ada pikiran untuk menyingkirkan partai rival partai pengusung presiden saat pemilu berlangsung. Jadi kewenangan itu dipindahkan ke MK,” ujar Goffar.
Kewenangan ketiga yang dimiliki MK, lanjut Goffar, yakni memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan itu untuk memastikan proses pemilu berjalan dengan demokratis. “Untuk mewujudkkan negara demokratis, pemilunya juga harus demokratis. Ketika muncul dugaan-dugaan pelanggaran maka diperlukan lembaga independen untuk menyelesaikannya, yaitu MK,” jelas Goffar yang juga menjelaskan mengenai kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Terakhir, Goffar menjelaskan mengenai kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berat seperti penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lain, atau melakukan perbuatan tercela.
“Dulu, sebelum perubahan UUD 1945, Presiden Soekarno dilengserkan karena pertanggungjawabannya ditolak MPRS. Hal serupa juga terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang berhenti setelah ada demo besar-besaran menuntutnya untuk mundur. Presiden Habibie dan Gusdur juga mengalami pencopotan jabatan yang kesemuanya itu terjadi karena proses politik meski belum terbukti bersalah dalam persidangan. Maka MK diperlukan untuk menyidangkan dan member putusan atas tuduhan DPR,” tukas Goffar yang kerap memuji antusias dan kecerdasan para siswa SMAN 1 Sorolangun yang sempat melontarkan pertanyaan-pertanyaan cerdas. (Yusti Nurul Agustin/mh)