Sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) dan UU Komisi Yudisial (UU KY) yang dimohonkan oleh tiga orang dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid (Usahid) Jakarta, kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (4/4/2013). Made Darma Weda, R.M. Panggabean dan St. Laksanto Utomo mempersoalkan mekanisme pemilihan hakim agung dalam UU MA dan UU KY yang berbeda dengan mekanisme pemilihan hakim agung yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD).
Dalam perkara bernomor 27/PUU-XI/2013 itu, Kuasa Hukum Para Pemohon Refky Saputra, kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, mengungkapkan mengenai Para Pemohon merupakan perseorangan warga negara yang pernah mengikuti seleksi hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 8 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 4 Tahun 1985 tentang MA, dan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY, yang mengatur mekanisme seleksi hakim agung terhadap UUD 1945.
Menurut Para Pemohon, akibat berlakunya kedua UU tersebut pihaknya gagal menjadi hakim agung dan setelah memperbaiki permohonannya berdasar nasihat hakim pada sidang terdahulu, Para Pemohon meminta kepada MK untuk memberikan penafsiran konstitusional agar frasa “dipilih oleh DPR” dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, sepanjang tidak ditafsirkan “disetujui oleh DPR”.
“Kami meminta itu agar ditafsirkan, dan bunyinya yang kami usulkan ada di poin 1.5 dimana dalam Pasal 8 ayat (2) kami meminta undang-undang itu bertentangan dan yang selengkapnya adalah calon hakim agung sebagaimana dimaksud ayat (1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial,” terang Refky.
Selain itu, Para Pemohon juga meminta tafsir konstitusional ayat (4) Pasal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. “Meminta tafsir … usulannya adalah persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan paling lama 30 hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian Pasal 8 ayat (3) kami meminta itu dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, jadi bukan penafsiran Yang Mulia, Pasal 8 ayat (3),” lanjutnya. (Ilham WM/mh)