Empat orang pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, yaitu Jaka Irwanta, Siti Rohmah, Freddy Gurning, dan Yana Permadiana mengajukan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian terhadap UUD 1945. Dua dari keempat Pemohon, yakni Jaka Irwanta dan Yana Permadiana hadir dalam sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan nomor 32/PUU-XI/2013, Rabu (3/4). Sidang kali ini diketuai oleh M. Akil Mochtar.
Para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 7 ayat (3) UU Usaha Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.” Kuasa Hukum Pemohon, Zairin Harahap menyampaikan Para Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional karena UU dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) UU tersebut belum diterbitkan. “Selama 21 tahun ini, pembentuk undang-undang tidak menerbitkan peraturan perundang-undangan tentang badan hukum usaha bersama sehingga sudah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Para Pemohon,” ujar Zairin di hadapan Akil yang didampingi Anwar Usman dan Arief Hidayat selaku anggota panel hakim.
Selain itu, Zairin juga mengatakan pasal tersebut sudah menimbulkan diskriminasi kepada Para Pemohon sebagai pemegang polis pada Badan Hukum Usaha Bersama (mutual). Pasalnya, badan usaha lain sudah memiliki undang-undang khusus yang mengatur kegiatan terkait usaha pada badan hukum dimaksud. “Belum dikeluarkannya Undang-Undang Badan Hukum Usaha Bersama sudah menimbulkan perlakuan diskriminatif kepada usaha perasuransian. Sedangkan badan usaha lainnya, seperti perseroan terbatas, badan usaha koperasi sudah dikeluarkan undang-undangnya. Sementara itu untuk usaha perasuransian sebagaimana dijanjikan Pasal 7 ayat (3) UU Usaha Perasuransian sampai sekarang belum kunjung ada,” jelas Zairin.
Kerugian nyata yang dialami Para Pemohon, lanjut Zairin, yaitu adanya kesulitan untuk memiliki kesempatan mengikuti tender barang dan jasa. Sebab, untuk mengikuti tender pengadaan barang dan jasa diperlukan status berbadan hukum. Para Pemohon melalui kuasa hukumnya juga menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (3) UU Usaha Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Di akhir pernyataannya, Zairin menyampaikan petitum permohonan Pemohon. Petitum permohonan dimaksud adalah sebagai berikut. Satu, mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Dua, Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang berbunyi: “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai: “diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang paling lambat 1 (satu) tahun” terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dikeluarkan. Tiga, Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang berbunyi: “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang paling lambat 1 (satu) tahun”, terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi tentang Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dikeluarkan. Empat, mengubah isi/redaksional Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dikeluarkan menjadi “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang paling lambat 1 (satu) tahun”, terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 dikeluarkan.
Terhadap permohonan Pemohon, panel hakim menyampaikan saran perbaikan permohonan. Akil menyampaikan agar Pemohon menghapus petitum keempat karena mengubah isi/redaksional pasal tersebut bukanlah kewenangan MK. Akil juga menyarankan Pemohon agar menimbang kembali permohonannya dengan mengatakan bila permohonan Pemohon dikabulkan terkait adanya ketentuan tentang Usaha Perasuransian, masihkan Pemohon mengalami kerugian konstitusional. “Legal standing itu harus ada kerugian konstitusional, kerugian konstitusional itu harus ada hubungan sebab-akibat, kerugian konstitusional itu juga harus spesifik khusus. Dan dengan dikabulkkannya permohonan ini, kerugian konstitusional jadi tidak ada, itu normatifnya. Tapi itu harus dirangkaikan,” saran Akil.
Sementara itu, Arief menyarankan agar Pemohon mengubah saja status badan hukum Usaha Bersama menjadi Badan Hukum Privat. “Kan sebetulnya bisa juga sesama pemegang polis melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengubah status badan hukumnya menjadi badan hukum privat. Kalau semua setuju bisa saja kan? Daripada menunggu undang-undang atau peraturan pemerintahnyua yang belum ada,” tukas Arief. (Yusti Nurul Agustin/mh)