Melalui Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK menegaskan usia minimal dan maksimal pengangkatan hakim konstitusi pertama kali, yakni minimal 47 tahun dan maksimal 65 tahun. “Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum,” ucap Ketua MK Moh. Mahfud MD dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (28/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama,” papar Mahfud.
MK beralasan, ketentuan yang menyatakan bahwa batas usia paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan hakim konstitusi akan menyebabkan seseorang, yang meskipun untuk masa jabatan kedua belum berumur 70 tahun tetapi sudah berusia lebih dari 65 tahun, tidak dapat diusulkan kembali untuk diangkat pada periode kedua.
“Dengan demikian, hak untuk diusulkan kembali sebagai hakim konstitusi sampai dengan batas usia 70 tahun menjadi terhalang dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK. Pengaturan batas usia paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan memiliki rasionalitas jika dimaksudkan untuk pengangkatan pertama, agar hakim konstitusi yang diangkat pertama kali dapat menyelesaikan masa baktinya genap lima tahun, namun untuk pengangkatan pada periode berikutnya, hakim konstitusi justru memiliki nilai lebih karena berpengalaman selama satu periode sebelumnya, sehingga diperlukan untuk kesinambungan,” papar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Sebelumnya, Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK yang diuji tersebut berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat : ...d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun”.
Hanya Berandai-andai
Dalam permohonan yang diajukan oleh Andi Muhammad Asrun (Pemohon I) dan Zainal Arifin Hoesein (Pemohon II) ini, dua orang hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Harjono, dalam dissenting-nya mengungkapkan, kerugian para Pemohon hanyalah kerugian yang berandai-andai saja. “Dalam permohonan para Pemohon dinyatakan bahwa para Pemohon potensial untuk satu waktu yang akan datang diangkat menjadi hakim MK. Pertanyaannya kapankah akan diangkat, belum jelas dan belum tentu juga bahwa para Pemohon akan pernah menjadi hakim MK,” ungkapnya.
Bahkan, dia berpandangan, dengan mengabulkan permohonan para Pemohon, calon hakim baru yang haknya dijamin oleh pasal yang sama dalam UUD 1945 justru telah dirugikan. Karena, tidak mendapatkan perlakuan yang sama, yaitu calon hakim tersebut umurnya tidak boleh lebih dari 65 tahun, tetapi bagi calon yang pernah menjadi hakim boleh lebih 65 tahun. “Hal tersebut bersifat diskriminatif,” tegasnya.
Di samping itu Harjono juga berpandangan, perkara ini sangat berkaitan dengan kepentingan hakim MK secara pribadi, yaitu untuk dapat dipilih masa jabatan kedua, dan tidak berkaitan dengan kelembagaan MK. “Kasus ini memang menguji sifat negarawan hakim MK sebagimana ditentukan oleh Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, karena menyangkut kepentingan pribadi hakim dan bukan kelembagaan MK,” ujarnya. Sehingga ia berpendapat, seharusnya MK menyatakan para pemohon tidak mempunyai legal standing dan hakim menolak memeriksa pokok perkara, serta menghargai pembuat UU.
Adapun Maria Farida Indrati, berpandangan, semestinya MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Sebab, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. “Saya berpendapat bahwa, baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak memenuhi kelima syarat sebagai Pemohon dan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang a quo.” (Dodi/mh)