Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan seluruh ketentuan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dan diadakan dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional. Demikian putusan Nomor 92/PUU-X/2012 yang diajukan Pimpinan DPD yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD pada Rabu (27/3). "Mengabulkan permohonan untuk sebagian," ucap Mahfud membacakan amar putusan dengan didampingi oleh sembilan hakim konstitusi di gedung MK.
Dalam pendapat mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah berpendapat, 29 pasal dalam UU Nomor 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) mereduksi atau mengurangi kewenangan Pemohon yang ditentukan oleh UUD 1945.
Mengenai dalil kewenangan konstitusional DPD tentang pengajuan RUU, menurut Mahkamah, kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut, lanjut Akil, bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU.
“Mahkamah menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945,” urainya.
DPD Berwenang Membahas RUU
Sementara itu mengenai kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden.
Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan.
“Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan,” tuturnya.
DPD Berwenang Ikut Serta dalam Penyusunan Prolegnas
Sedangkan mengenai keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas, Mahkamah menilai seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, lanjut Akil, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, norma Undang-Undang yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum,” jelasnya.
Pada sidang pleno yang sama, MK juga memutuskan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Koalisi Warga untuk Mengembalikan Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah atau Koalisi Warga. Dalam pendapat Mahkamah untuk Putusan Nomor 104/PUU-X/2012 tersebut, Mahkamah berpendapat secara substansi permohonan para Pemohon sama dengan substansi permohonan Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah diputus Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Maret 2013, pukul 15.20 WIB.
“Dengan demikian, seluruh pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 secara mutatis mutandis berlaku pula untuk putusan dalam permohonan a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon ne bis in idem,” tandas Hakim Konstitusi Muhammad Alim. (Lulu Anjarsari/mh)