Persoalan pembaruan agraria untuk mengurangi kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks. Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan seharusnya dilakukan secara komprehensif yang melibatkan berbagai aspek baik hukum, ekonomi, sosial budaya maupun disiplin ilmu lainnya.
“Judul ‘Strategi Pembaruan Agraria’ dalam rancangan penelitian ini seyogyanya dapat menggambarkan terlebih dahulu keadaan senyatanya dari objek agraria itu sendiri. Kemudian diletakkan target yang dikehendaki, dari situlah ditentukan strategi yang dipilih untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai tersebut,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki pada Seminar Rancangan Penelitian Kegiatan Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu (27/3) di Jakarta.
“Karena aspek nomenklatur ‘agraria’ dalam arti luas mencakup bukan saja tanah, tetapi juga hutan, air dan kekayaan alam, maka semua peraturan perundang-undangan sesuai dengan bidangnya tersebut perlu diinventarisasi,” tambah Achmad Sodiki kepada para peneliti LIPI, di antaranya adalah Lilis Mulyani.
Dikatakan Sodiki, setiap bidang hukum agraria mempunyai permasalahannya sendiri. Permasalahannya terkait dengan isu ‘apakah terdapat pasal-pasal dalam perundang-undangan yang terkait dengan upaya mengurangi kemiskinan’. Sebaliknya juga perlu diidentifikasi ‘apakah ada pasal-pasal yang menjadi halangan bagi pengurangan kemiskinan’.
“Hal ini berkenaan dengan laporan hasil penelitian tahun I yang berkenaan dengan dengan reforma agraria, yang pro poor tetapi tidak bisa dilepaskan dari kenyataan kebijakan ekonomi negara yang sudah pro market,” imbuh Sodiki kepada para hadirin.
Menurut Sodiki, dengan memerinci aspek positif dan negatif setiap ketentuan perundang-undangan, maka akan lebih jelas sosok permasalahannya. Kemudian apakah yang hendak dicapai bertolak dari keadaan demikian.
“Dapat dibuat langkah konkret apakah terdapat upaya untuk menguji keabsahan undang-undang dengan konstitusi atau peraturan di bawahnya. Agar pasal-pasal yang menghambat tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat digugurkan. Sebaliknya, pasal-pasal yang bernilai positif bagi pengurangan kemiskinan dapat dievaluasi, apakah efektif atau tidak. Jika tidak efektif, di manakah letak kendalanya?” urai Sodiki.
Sodiki melanjutkan, dari setiap aspek agraria semisal tanah, air, hutan, tambang dan sumber daya agraria lainnya sebagaimana pernah diuji konstitusionalitasnya di MK, telah banyak yang digugurkan karena bertentangan dengan konstitusi. “Ini berarti, produk perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial sampai sekarang terbuka untuk dievaluasi,” ucap Sodiki.
Lebih lanjut Sodiki menanggapi pertanyaan penelitian soal penggunaan istilah agraria dan reforma agraria dalam arti sempit yakni tanah saja, tidak mencakup di luar itu, terutama yang di bawah wewenang Badan Pertanahan Nasional.
“Pertanyaan ini bersifat historis karena setiap pemerintahan sejak orde lama, orde baru dan orde pembangunan telah menetapkan program dan reforma agraria yang berlainan penekanannya. Di sini perlu penajaman, apakah sesungguhnya ‘isi’ reforma agraria? Apakah dapat ditemukan dalam setiap periodesasi demikian, ketentuan perundang-undangan yang pro poor? Lalu bagaimana implementasinya? Strategi apa yang telah dilakukan?” papar Sodiki.
Sodiki juga menanggapi tantangan pembaruan agraria pada level negara dan level masyarakat. “Apakah yang dimaksud dengan hambatan perlu penegasan, apakah pembiaran termasuk hambatan? Apakah justru cetak biru ‘reforma agraria’ itu sendiri yang tidak realistis, ‘lip service’ misalnya mau membagi-bagi tanah seluas 11 juta hektar? Jadi ada cacat pada cetak birunya,” tandas Sodiki. (Nano Tresna Arfana/m)