Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara telah sesuai dengan pembentukan daerah provinsi/kota/kabupaten dan sesuai dengan desain besar penataan daerah yang sedang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat. Demikian pernyataan Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Raizonizar Donek dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (UU Kaltara) terhadap UUD 1945 pada Rabu (27/3).
“Pembentukan Kalimantan Utara sesuai dengan pembentukan daerah provinsi/kota/kabupaten dan sesuai dengan desain besar penataan daerah serta pembentukan daerah otonomi baru. Pemerintah akan mengesahkan (Provinsi Kalimantan Utara, red.) pada bulan April. Sudah ada langkah persiapan lebih cepat dari waktu 9 bulan yang tercantum dalam UU a quo,” ujar Raizonizar di hadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Raizonizar menjelaskan Provinsi Kalimanta Utara yang terletak di sebelah utara Kalimantan berbatasan dengan Sabah, Malaysia, memiliki peran dalam menjaga NKRI yang termanifestasikan di kehidupan masyarakatnya. Namun kenyataan empiris yang ditemukan adalah justru rasa nasionalisme yang mulai tereduksi.
“Hal tersebut terjadi di daerah perbatasan merupakan daerah yang tertinggal karena kurangnya kontrol dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan mengakomodir hal tersebut, UU a quo telah sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,” urainya.
Sementara mengenai Penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU Kaltara menyebutkan “Penjabat Gubernur Kalimantan Utara diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Gubernur Kalimantan Timur”, menurut Pemerintah untuk menciptakan harmonisasi. Kondisi ini dikarenakan Pemerintah menilai Gubernur Kalimantan Timur lebih mengerti kondisi geografis dan kekayaan yang dimiliki Provinsi Kalimantan Utara.
“Hal ini karena Gubernur Kalimantan Timur lebih memahami sumber daya manusia dan sumber daya alam di Kalimanta Utara. Gubernur Kalimantan Timur lebih mengetahui mengenai keadaan Kalimantan Utara,” paparnya.
Sementara itu, Ahli Pemohon Laica Marzuki menjelaskan Pasal 10 ayat (1) UU Kaltara menyebabkan ketidakpastian hukum. Menurut Laica, pernyataan Pemerintah yang akan mempercepat pembentukan Kalimantan Utara dari yang diatur oleh UU Kaltara menyalahi aturan.
“Aturan yang mengandung frasa ‘paling cepat dua tahun’ menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat Tarakan, Nunukan dan lainnya. Keterangan Pemerintah dalam persidangan ini yang menerangkan akan mempercepat pengesahan Provinsi Kalimatan Utara, hal ini tidak bisa terjadi dalam hukum,” paparnya.
Para Pemohon yang merupakan para calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur mengungkapkan merasa dirugikan dengan adanya Pasal 10 ayat (1), Penjelasan Pasal 10 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), serta Pasal 20 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2012. Menurut Para Pemohon, jika ketentuan dalam UU Kaltara tersebut tetap diberlakukan dan berdaya ikat yuridis, maka ketentuan tersebut telah menimbulkan tidak terpenuhinya hak-hak warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta ketiadaan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum adil pada penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Kalimantan Utara.
Selain itu, Para Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XI/2013 menjelaskan ketentuan tersebut menimbulkan suatu kekacauan hukum (disorder of law) karena pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Kalimantan Utara didasarkan pada hasil Pemilu tahun 2014, sehingga DPRD Provinsi Kalimantan Utara tidak dapat segera menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan khususnya terkait dengan penyusunan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Utara. (Lulu Anjarsari/mh)