Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan yang dimohonkan oleh Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (26/3). Sidang yang dihadiri kesembilan hakim konstitusi itu menghadirkan dua ahli dari Pemohon, yaitu Rizki Nizam dan Achmad Zidane S.
Ahli Pemohon yang juga pelaku sejarah berkembangnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Indonesia, Achmad Zidane menyampaikan keterangan di hadapan pleno hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD. Achmad menjelaskan secara runut sejarah terbentuk dan berkembangnya PLN di Indonesia dari zaman penjajahan Belanda sampai saat ini. Dari keterangannya, Achmad menyimpulkan bahwa rakyat di manapun berada wajib menerima dan menikmati energi listrik. Soal pengelolaan penyediaan listrik untuk rakyat itu, Achmad menyilakan pihak mana pun untuk dapat menggantikan PLN ketika PLN tidak mampu menjangkau dan melayani ketersediaan listrik bagi rakyat. “Rakyat wajib mendapatkan jaminan hidup yang layak walau menjadi mitra kerja sekalipun dengan PLN,” ujar Achmad.
Achmad juga mengaku prihatin dengan keberadaan 4.300 unit PLTD yang tersebar di kepulauan Indonesia karena menyebabkan subsidi listrik membengkak. Pasalnya, PLTD tersebut membutuhkan bahan bakar yang mahal harganya diesel. Untuk menyelesaikan masalah itu, Achmad menyarankan PLTD diganti dengan bahan bakar gas karena lebih murah dan efisien. “Pengangkutan dan mobilisasi gas sangat mudah diciptakan (dengan, red) tangki abong. Alternatif lain adalah mengharuskan pembangunan pembangkit di mulut tambang serta pengeboran panas bumi dan gas alam dibiayai APBN. Itu adalah solusi yang paling tepat untuk segera kita keluar dari krisis listrik, Pak,” tukas Ahmad menyarankan.
Sementara itu ahli Pemohon Rizki Nizam memberikan keahlian tentang UU Ketenagalistrikan dari sisi hukum tata negara. Rizki menilai UU Ketenagalistrikan masih belum memberi ruang yang memadai kepada daerah untuk mengelola pengadaan listrik bila dilihat dari konteks ekonomi. Akibatnya, lanjut Rizki, tak sedikit daerah yang kaya akan sumber daya alam sebagai bahan energi listrik masih berjuang keluar dari belenggu krisis energi listrik sampai saat ini. “Daerah-daerah yang kaya sumber daya alam itu seolah-olah mengalami krisis listrik di lumbung energi. Masalahnya bukan sekedar soal ikhtiar dan inisiatif di level pemerintah daerah, tempat di mana krisis itu berada untuk keluar dari belenggu itu. Melainkan, ada pada regulasi yang masih mengekang ikhtiar tersebut untuk menyelesaikan krisis listrik pada level daerah,” papar Rizki.
Rizki menilai sebetulnya dalam UU Ketenagalistrikan sekilas terlihat norma-norma yang cukup memberi ruang bagi daerah untuk turut serta mengurus urusan ketenagalistrikan. Rizki menyebutkan ada empat norma dalam UU Ketenagalistrikan yang memberi peluang tersebut, yatu Pasal 2 ayat (1, Pasal 3 ayat (1), Pasal 5, dan Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan. Jika bersandar pada empat norma tersebut, lanjut Rizki, maka seharusnya peran daerah dalam urusan ketenagalistrikan tidak perlu dipermasalahkan lagi, bahkan sampai dilakukan judicial review ke MK.
Namun, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan terbatasnya ruang pemerintah daerah dan badan usaha lain di luar BUMN di bidang ketenagalistrikan dalam penyediaan usaha ketenagalistrikan di Indonesia, khususnya di daerah berpangkal pada adanya ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU Ketenagalistrikan sebagaimana dimohonkan Pemohon.
Rizki juga menyatakan keberadaan PT PLN Persero menjadikan terbatasnya ruang bagi badan usaha lain termasuk BUMD untuk turut serta menjadi penyedia usaha ketenagalistrikan di satu wilayah usaha ketenagalistrikan yang sama. “Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, ikhtiar pemerintah daerah yang terefleksi dari kehendak Bupati Tanah Bumbu untuk turut serta mengurai masalah ketenagalistrikan di kabupatennya dengan cara membangun sendiri pembangkit listrik tenaga uap batu bara melalui BUMD-nya terhalang oleh berbagai regulasi yang menyulitkan akibat masih eksisnya rezim monopolistik penyediaan ketenagalistrikan yang dilakukan oleh PT PLN Persero. Rezim monopolistik itu terlihat mulai dari perencanaan yang mesti dimasukkan dalam rencana umum pembangunan ketenagalistrikan yang dalam penyusunanya menjadi wilayah absolut PT PLN Persero dan pemerintah pusat tanpa melibatkan daerah, kendati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, daerah diberi ruang untuk menyusun RPTL daerah, namun hal itu tak pernah terjadi,” urai Rizki yang juga menegaskan Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU Ketenagalistrikan bersifat inkonstitusional karena menyebabkan asas otonomi daerah sebagaimana amanat konstitusi tercederai. (Yusti Nurul Agustin/mh)