Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang (PUU) No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) - Perkara No. 21/PUU-XI/2013 - pada Selasa (26/3) siang. Majelis Hakim dipimpin oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, didampingi dua hakim konstitusi lainnya.
“Saya minta Saudara menjelaskan apa yang telah Saudara perbaiki dalam permohonan, supaya kami dapat melaporkan ke pleno,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Pemohon adalah Andi Syamsuddin Iskandar dan Boyamin. Dalam kesempatan itu, Boyamin menjelaskan sejumlah perbaikan permohonan. Halaman pertama permohonan diperbaiki, terkait dengan penambahan Pemohon.
“Penambahan Pemohon, di antaranya ada nama almarhum Nasrudin Zulkarnaen. Selain itu surat kuasa sudah diperbarui dan sudah disampaikan kepada petugas beserta kartu anggota advokat dan sebagainya,” ungkap Boyamin.
Selanjutnya, kata Boyamin, terkait perbaikan permohonan berdasarkan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya, terkait dengan norma UUD 1945 yang menjadi penguji sudah diuraikan selengkap mungkin.
“Mulai dari Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28C Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (2). Terkait dengan nebis in idem juga sudah kami usahakan uraikan, bahwa permohonan ini betul-betul berbeda dengan permohonan sebelumnya,” jelas Boyamin.
Letak substansi perbedaan permohonan Pemohon saat ini dengan sebelumnya, ungkap Boyamin, bahwa pada sidang kali ini substansinya terkait dengan pengujian satu undang-undang yaitu UU KUHAP.
“Berbeda dengan sidang sebelumnya, melakukan pengujian tiga UU yaitu UU Kehakiman, UU Mahkamah Agung dan UU KUHAP,” urai Boyamin. Perbaikan permohonan lainnya, lanjut Boyamin, adanya penambahan posita di halaman 18 yang disertai bukti-bukti sebagai penajaman di posita.
Seperti diketahui, ketentuan Pasal 14C ayat (1) KUHP menyiratkan bahwa ada perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan, ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif, tergantung penilaian hakim. Oleh karena itu, dengan asas keseimbangan individu dan masyarakat (asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap korban kejahatan dalam KUHP sifatnya imperative.
Sedangkan tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Tujuannya, untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan, guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. (Nano Tresna Arfana/mh)