Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara pengujian terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002, yang diajukan oleh Keluarga Besar Bung Karno, diwakili oleh Rachmawari Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Pelopor Eko Sanjoyo, serta Universitas Bung Karno.
Sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Muhammad Alim tersebut berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan dari Pemohon, Senin Siang (25/03/13). Dalam keterangannya, Pemohon menjelaskan adanya tambahan dalam perbaikan permohona dimana Pemohon menambahkan penjelasan tentang kerugian Pemohon yang dilanggar atau dikurangi dengan adanya Tap MPR tersebut.
“Pemohon serta seluruh keluarganya telah mengalami kerugian konstitusional yang berkepanjangan. Bahkan adanya trauma yang hingga kini masih menghantui, dikarenakan adanya teror dan intimidasi di masa itu,” ujar Bambang Suroso, kuasa hukum Pemohon.
Tap MPR No. 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS Tahun 1960 Sampai 2002, Pasal 6, sepanjang frasa kata “baik karena bersifat einmalig (final)” dan sepanjang frasa kata “maupun telah selesai dilaksanakan”, khususnya untuk no. urut 30 mengenai Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno terhadap UUUD 1945, bertentangan dengan UUD 1945. Karena Pemohon tidak mendapatkan hak secara utuh, dan tidak bisa mendapatkan kebebasan seperti warga negara yang merdeka.
Bambang Suroso juga mendalilkan, frasa “bersifat einmalig (final)” dan “maupun telah selesai dilaksanakan” telah secara jelas dan nyata merugikan hak konstitusional, hak hukum dan hak politik Pemohon yang merupakan anak kandung Bung Karno. Secara tegas, Tap MPR tersebut telah menguatkan stigma negatif di tengah masyarakat bahwa Bung Karno selama kepemimpinannya telah melakukan penyimpangan konstitusi dengan melindungi dan menguntungkan PKI. “Padahal pendapat MPRS itu masih harus dibuktikan,” tegasnya.
Ia menambahkan, konstitusi telah secara tegas memberikan regulasi bahwa keberadaan norma hukum tidak boleh merugikan dan melukai hati rakyat secara keseluruhan, dan karenanya Tap MPRS tidak boleh bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, dengan menabrak rasionalitas, sehingga menimbulkan kekacauan yang berkepanjangan.
Karena Itu, dalam permohonannya Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya. Selain itu, Pemohon memohon untuk menyatakan Tap MPR No.1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/S Tahun 1960 Sampai 2002, Pasal 6, sepanjang frasa kata “baik karena bersifat einmalig (Final) dan sepanjang frasa kata “maupun telah selesai dilaksanakan”, khususnya untuk no. urut 30 mengenai Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno terhadap UUUD 1945, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan bertentangan dengan UUD1945.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Pemohon, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mengesahkan dua bukti dokumen dari Pemohon, dan mengatakan bahwa sidang akan dibawa terlebih dahulu kedalam Rapat Permusyawaratan Hakim mengenai apakah sidang akan diteruskan dalam Sidang Pleno dengan menghadirkan Pemerintah dan DPR atau dipandang sudah cukup. (Panjierawan/mh)