Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) dimohonkan uji materiilnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 28/PUU-XI/2013 ini berlangsung pada Rabu (20/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Beberapa koperasi di Jawa Timur tercatat sebagai Pemohon dalam perkara ini, di antaranya Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, dan beberapa pemohon perseorangan.
Melalui kuasa hukumnya, Aan Eko Widiarto, Pemohon berkeberatan dengan Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian). Menurut Para Pemohon, pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945.
“Pendefinisan koperasi sebagai sebuah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan jelas menunjukkan bahwa semangat (legal policy) pembentukan Undang-Undang ini adalah mengubah paradigma keberadaan koperasi yang sebelumnya merupakan usaha bersama menjadi usaha pribadi,” ujar Aan di hadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Aan menjelaskan definisi koperasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian hanya berorientasi pada makna koperasi sebagai entitas yang bernilai materialitas dan bukan pada penempatan serta keterlibatan manusia (orang-orang) dalam proses terbentuk dan keberlangsungan hidup koperasi. Hal ini, lanjut Aan, memungkinkan bahwa manusia akan menjadi objek badan usaha dan bukan subjek dari Koperasi. “Dengan demikian Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945,” tuturnya.
Selain itu, Aan memaparkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) yang mengatur setoran pokok dibayarkan oleh anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota dan tidak dapat dikembalikan adalah bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Kemudian, Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 83 UU Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut, lanjut Aan, memecah jenis koperasi menjadi beberapa macam yang menurut penilaian Pemohon tidak sesuai dengan asas perekonomian disusun sebagai usaha bersama.
“Pemecahan koperasi ini tidak dilakukan bagi perusahaan maupun BUMN. Hal ini seperti ‘memutilasi’ koperasi. Secara umum, UU Perkoperasian mengganti onderdil koperasi menjadi onderdil perusahaan dan hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
Dalam sidang yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva sebagai Hakim Anggota, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan bagi Pemohon. Hamdan menyarankan agar memberikan alasan permohonan untuk petitum yang meminta hampir keseluruhan pasal dalam UU Perkoperasian tersebut. “Berkaitan dengan permohonan untuk meminta pembatalan hampir keseluruhan pasal, maka Saudara harus merangkai filosofis sebagai alasan dari petitum tersebut,” sarannya.
Sementara itu, Akil menyarankan agar Pemohon yang merupakan badan hukum privat menyertakan AD/ART-nya. Tak hanya itu, Akil meminta agar Pemohon meneliti kembali kedudukan hukum Para Pemohon yang terbagi atas badan hukum privat maupun perseorangan. “Kedudukan hukum dikonstruksikan kembali,” tandasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Jika Pemohon tidak melakukan perbaikan, maka MK akan menggunakan permohonan sebelumnya. Sidang berikutnya beragendakan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)