Sidang uji UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara No.1/PUU-XI/2013 dan No.3/PUU-XI/2013 ini dipimpin oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan mengagendakan mendengar keterangan DPR, Pemerintah maupun keterangan saksi dan ahli.
Dalam sidang tersebut, berhubung tidak ada lagi ahli maupun saksi yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah dan DPR, maka Mahfud menutup sidang sebagai sidang terakhir. Mahfud meminta para pihak yang berhak menyimpulkan fakta selama persidangan berlangsung. “Kalau begitu, Rabu, tanggal 26 Maret, pukul 16.00, supaya menyerahkan kesimpulan di Kepaniteraan di lantai 4, tanpa sidang. Diserahkan langsung saja. Sidang hari ini ditutup,” jelasnya. Selanjutnya, sidang uji materi ini akan menunggu jadwal pengucapan putusan.
Dalam permohonannya, Pemohon Perkara Nomor 1/PUU-XI/2013, yakni Oei Alimin Sukamto Wijaya, melalui kuasa hukumnya Muhammad Sholeh menyatakan kliennya tersebut terlibat perkelahian di Hotel Meritus, Surabaya pada 5 Agustus 2012 lalu dan menjadi tersangka akibat Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sementara itu, Hendry Batoarung Madika selaku Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XI/2013, menyatakan, ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur tentang Tembusan Surat Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Hendry ditangkap karena kasus Narkoba.
Dalam kurun waktu 24 hari setelah penangkapan, keluarga Hendry baru menerima surat perintah penangkapan dan sudah melakukan upaya hukum praperadilan. Namun upaya ini ditolak Hakim, karena KUHAP tidak mengatur pemaknaan mengenai berapa lama kata “segera”. Menurut Pemohon, penerapan Pasal 18 ayat (3) KUHAP oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia khususnya tentang pemaknaan kata “segera”, waktunya tidak pasti. Hal ini tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum. (Lulu Anjarsari/mh)