Dua puluh lima orang mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UII), Yogyakarta mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (18/3). Kunjungan para mahasiswa UII tersebut diterima langsung oleh Hakim Konstitusi Harjono yang sekaligus memaparkan materi seputar sejarah dan maksud dari terbentuknya MK.
Moderator yang juga dosen UII, Ni’matul Huda di ruang konferensi pers, lantai 4, Gedung MK menyampaikan tujuan kedatangan rombongan mahasiswa UII kali ini untuk menimba ilmu langsung dari Hakim Harjono. “Terima kasih kasih sudah diterima dengan baik oleh MK. Kedatangan kami ke MK bertujuan untuk berguru langsung sama Pak Harjono tentang MK, tentang apa yang Bapak-bapak lakukan di MK ini,” ujar Ni’matul Huda membuka pertemuan kali itu.
Usai diberi kesempatan untuk berbicara oleh moderator, Harjono membuka paparannya dengan mengatakan bahwa ia juga pernah mengajar di Pascasarjana UII. Namun saat ini Harjono ditugasi untuk mengajar Program Magister UII. Kemudian Harjono menyampaikan bahwa bila mengikuti perkembangan MK sangat mungkin untuk mendapatkan banyak hal. Sebab, MK sangat terbuka dalam memberikan informasi mengenai kegiatan-kegiatannya.
Harjono kemudian mulai menyampaikan materi terkait sejarah terbentuknya MK. Ia mengatakan MK tidak tiba-tiba “nempel” di dalam UUD 1945. Kehadiran MK, lanjut Harjono, merupakan hasil dari perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sesudah mengalami perubahan ketiga menjadi berbunyi, “(2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945.”
Meski perubahan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut hanya sedikit saja, namun menyebabkan perubahan besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. “Meski yang berubah ‘buntutnya’ saja tapi itu menjadikan perbedaan paradigma dalam sistem ketatanegaraan kita. Kalau dulu, kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, sekarang harus dilakukan menurut UUD 1945,” jelas Harjono.
Dengan kedaulatan dilakukan sepenuhnya menurut UUD 1945, maka lembaga negara di tataran yudikatif, legislatif, maupun eksekutif memiliki fungsinya masing-masing dalam melaksanakan kedaulatan rakyat dengan mengikuti aturan UUD 1945. Harjono kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menggambar diagram hierarki kekuasaan sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 di white board. Tanpa canggung, Harjono menggambar sekaligus menerangkan perbedaan hierarki kekuasaan yang digambarnya.
Sembari menggambar diagram tersebut, Harjono menjelaskan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, dikenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Dan MPR-lah yang saat itu menjadi lembaga tertinggi negara sekaligus kedudukannya berada tepat di bawah UUD 1945. Sedangkan DPR, DPD, dan Presiden berada di bawahnya. Namun, saat ini tidak lagi dikenal lembaga tertinggi negara maupun lembaga tinggi negara melainkan hanya lembaga tinggi saja. “Saat ini digunakan delegation of power. Jadi pembagian kelembagaan berdasarkan fungsinya. Jadi disebar fungsi-fungsi yang ada di dalam UUD 1945 ke lembaga-lembaga yang ada. Jadi tidak usah ditanyakan lagi mana lembaga tertinggi atau tinggi negara. Sekarang yang ada lembaga yang diberi kewenangan oleh Konstitusi dan lembaga non Konstitusi (kewenangannya tidak diberikan oleh UUD 1945, red),” papar Harjono.
Dengan adanya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka diperlukan lembaga yang menjamin sistem itu berjalan atau dengan kata lain menjamin penegakkan Konstitusi. Harjono menganalogikan, bila pelanggar hukum biasa saja dapat dikenai sanksi maka pelanggar hukum tertinggi (Konstitusi, red) juga dapat dikenai hukuman. Hanya saja, masih jelas Harjono, sanksi yang diberikan bentuknya berbeda. “Dalam hukum administrasi, penegakkannya bisa dengan mengembalikan keadaan seperti semula sebelum pelanggaran terjadi,” tutur Harjono di hadapan para mahasiswa yang berjaket almamater hitam itu.
Maka muncullah MK sebagai lembaga yang menjamin hukum tertinggi tersebut ditegakkan. “Kalau di Amerika Serikat kewenangan untuk itu ada di dalam Supreme Court (MA, red), di Indonesia dibentuk lembaga peradilan baru yakni Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI),” tukas Harjono.
Ni’matul Huda yang turut menyimak penjelasan Harjono kemudian mengatakan bahwa para mahasiswa dapat membuat empat judul tesis dari penjelasan Harjono tersebut. “Wah, dari penjelasan Pak Harjono tadi kita bisa dapatkan empat judul tesis!” ujar Ni’matul berusaha member ide kepada para mahasiswanya. (Yusti Nurul Agustin/mh)