Pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif yang dilakukan secara bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap sejalan dengan konstitusi. Bahkan, dari sisi original intent perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pelaksanaan Pemilu memang dimaksudkan digelar secara serentak, kecuali pemilihan umum kepala daerah.
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Slamet Effendy Yusuf dalam keterangannya yang disampaikan dalam persidangan Perkara No. 14/PUU-XI/2013 perihal pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9. Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Kamis (14/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Pada kesempatan tersebut, Slamet yang juga pelaku perubahan UUD 1945, dihadirkan oleh Pemohon Effendi Ghazali.
Menurut Slamet, saat pembahasan terkait ketentuan Pemilihan Umum dalam perubahan UUD 1945, para anggota MPR saat itu sebagian besar berpandangan bahwa pelaksanaan Pemilu legislatif dan Presiden/Wakil Presiden, dilaksanakan secara bersama-sama. Dia mengistilahkan Pemilu untuk memilih “lima kotak”, yakni kotak pertama adalah Dewan Perwakilan Rakyat, kotak kedua Dewan Perwakilan Daerah, kotak ketiga Presiden dan Wakil Presiden, kotak keempat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan kotak kelima adalah DPRD Kabupaten/Kota.
“Awalnya tim ahli mengusulkan menyatukan pula pemilihan pimpinan daerah, namun ditolak oleh sebagian anggota saat itu. Karena dianggap hal itu termasuk dalam rezim pemerintahan daerah,” papar Slamet.
Hal itu kemudian didukung oleh ahli yang dihadirkan Pemohon, Irman Putra Sidin. Menurut Irman, pelaksanaan Pemilu tak serentak selama ini sudah tidak memiliki basis konstitusionalitas lagi. Karena, secara perlahan namun pasti telah mendestruksi hak konstitusional warga negara. “Sehingga, tidak ada alasan untuk mengkonservasi pelaksanaan Pemilu dengan model tak serentak ini,” tegasnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan sudah saatnya dilakukan purifikasi konstitusi dalam pelaksanaan Pemilu di negeri ini. Maksudnya adalah melakukan pemurnian model pelaksanaan Pemilu agar sejalan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Salah satunya dengan melakukan redesign terhadap model pelaksanaan Pemilu tak serentak menjadi serentak.
Namun, ia menegaskan bahwa bukan berarti jika Pemilu tak serentak dianggap inkonstitusional, otomatis hasil Pemilu selama ini menjadi inkonstitusional. Karena menurutnya, hal ini lebih kepada perkembangan kebutuhan bangsa. Setidaknya pandangan ini diambil setelah melakukan evaluasi terhadap dua pelaksanaan Pemilu selama ini yang kurang memberikan dampak positif.
Ahli Pemohon lainnya, Didik Supriyanto dan Hamdi Muluk, memiliki pandangan yang hampir sama. Mereka berpandangan dalam sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia, seharusnya pelaksanaan Pemilu Presiden dilakukan serentak dengan Pemilu legislatif. Sebab, jika Pemilu Presiden dilakukan setelah Pemilu legislatif maka hal itu bertolak belakang dengan sistem presidensial yang seharusnya menguatkan posisi Presiden. Faktanya yang terjadi saat ini malah sebaliknya, yang mana keterwakilan parpol di parlemen menjadi penentu pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Di samping itu, Didik berkesimpulan, Pemilu serentak akan lebih mewujudkan efektifitas dan efisiensi, baik dari sisi pemilih, partai politik, maupun keuangan negara. “Pelaksanaan terpisah akan memboroskan dana,” katanya.
Konvensi dan Amanat Konstitusi
Pada kesempatan yang sama hadir pula dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk memberikan tanggapan atas permohonan Pemohon. DPR diwakili oleh Yahdil Abdi Harahap. Sedangkan dari Pemerintah diwakili Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi.
Pada dasarnya, kata Yahdil Harahap, DPR berpandangan bahwa pelaksanaan Pemilu tak serentak sebagaimana praktik selama ini merupakan konvensi ketatanegaraan yang sudah berlaku lama dan sesuai dengan konstitusi. “Pengalaman dan kebiasaan bisa menjadi hukum. Pengalaman selama ini adalah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu legislatif,” ungkapnya.
Apalagi, kata dia, Presiden dilantik oleh MPR yang anggotanya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Oleh karenanya, MPR harus terlebih dahulu terpilih dibandingkan Presiden dan Wakil Presiden.
“Dengan demikian Pasal 3 ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 adalah konstitusional, sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenannya Pasal 9. Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 sebagai ketentuan lanjutan dari pasal tersebut secara mutatis mutandis tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Adapun Mualimin Abdi menyampaikan, pada dasarnya Pemerintah menilai Pemilu tak serentak telah memenuhi amanat konstitusi. Di samping itu, Pemilu dengan model ini juga mewujudkan sistem Presidensil yang didukung oleh kekuatan di parlemen. Sebab, calon presiden dicalonkan oleh partai politik yang menduduki parlemen melalui Pemilu yang telah dilakukan lebih dahulu dibandingkan Pemilu Presiden.
Setelah mendengarkan pandangan para pihak, Pleno Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD kemudian memerintahkan baik kepada Pemohon, Pemerintah, maupun DPR, untuk menyerahkan kesimpulan tertulis ke MK pada Selasa (19/3) pukul 15.00 WIB. Untuk selanjutnya akan digelar sidang pembacaan putusan. (Dodi/mh)