Permohonan perkara pengujian undang-undang (PUU) No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD—Perkara No. 108/PUU-X/2012—akhirnya ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi. Demikian disampaikan Mahkamah dalam sidang pembacaan putusan pada Rabu (13/3) sore.
“Konklusi, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; Dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Mahfud MD didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Pemohon Antonius Iwan Dwi Laksono dan Mochamad Saiful mempermasalahkan tidak adanya aturan yang memberi batasan periode masa jabatan anggota DPR dan DPRD, sebagaimana Presiden dan Wakil Presiden dibatasi periode masa jabatannya. Menurut Mahkamah, dalam Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007 bertanggal 11 Desember 2007 disebutkan, “ ... setiap jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan maupun melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat. Dengan kata lain, jabatan publik adalah jabatan kepercayaan ...”
“Dengan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta pemilu dalam mencapai kemenangan semata,” ungkap Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD, karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan.
“Anggota DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif. Sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi kesewenang-wenangan,” ujar Akil.
“Sedangkan bagi partai-partai politik dapat saja melakukan pembatasan terhadap anggotanya, untuk duduk di bangku DPR dan DPRD. Hal itu adalah kebijakan internal masing-masing partai politik yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” lanjut Akil.
Selanjutnya, menurut Mahkamah, terhadap jabatan publik yang pengisiannya dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat tidaklah dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali. Sebab jabatan demikian haruslah diduduki oleh orang yang memiliki kualitas dan integritas tinggi. Pencalonan seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 tidaklah berarti bahwa negara tidak boleh mengatur atau menentukan persyaratannya.
Pengaturan itu diperbolehkan sepanjang persyaratannya merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan oleh suatu jabatan atau aktivitas pemerintahan tertentu dan tidak bersifat diskriminatif dalam pengertian tidak membeda-bedakan orang atas dasar agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya. Pengaturan dan/atau penentuan persyaratan demikian adalah mekanisme yang akan memungkinkan pemilihan itu berlangsung secara wajar dan terpercaya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Nano Tresna Arfana/mh)