Moh. Mahfud MD menjabarkan posisi dan kewenangan MK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, di hadapan mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah, Palembang, pada Sabtu (3/9). Dari keempat tugas utamanya, yakni membubarkan partai politik, menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, MK memainkan peran yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Karena sejak tahun 1945 sampai 2003, tidak ada lembaga negara yang dapat melakukan tugas-tugas penting itu. Dulu setiap UU yang dibuat DPR bersama pemerintah, harus dianggap sebagai kebenaran mutlak. Tapi sekarang bisa saudara bayangkan, sejak berdiri di tahun 2003, MK telah membatalkan lebih dari 160 UU yang bertentangan dengan UUD 1945,” tutur Mahfud bangga atas lembaga yang dipimpinnya.
Tidak berhenti sampai disitu, ia juga menguraikan capaian prestasi yang berhasil ditorehkan MK dalam peta politik Indonesia, yakni dengan membatalkan sebanyak 72 kursi DPR diseluruh Indonesia, dengan komposisi 12 kursi DPR pusat dan 60 kursi DPR tingkat I dan II, serta membatalkan 37 putusan hasil pemilu kepala daerah. “Dulu hal seperti ini tidak mungkin dilakukan,” ujarnya.
Mahfud menilai bahwa keberhasilan MK dalam membuat gebrakan yang sangat fenomenal dalam sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia tidak terlepas dari semangat reformasi yang menghendaki terciptanya masyarakat demokratis yang sehat. Sebagai lembaga peradilan yang lahir pasca reformasi, MK diharapkan dapat membawa angin perubahan yang dapat menempatkan kedudukan setiap warga negara sama dan setara dimata hukum, termasuk kedudukan dan posisi presiden yang tidak bisa diberhentikan ditengah jalan hanya karena alasan politis.
Berkaca dari kejatuhan para kepala negara yang pernah memimpin Indonesia, Bung Karno, Soeharto dan Gus Dur, ketiganya dijatuhkan dari kepresidenan atas alasan politik dan tidak melalui mekanisme peradilan. Hal ini jelas menimbulkan preseden buruk bagi keberlangsungan sistem ketatanegaraan Indonesia, namun dengan adanya MK, pemakzulan terhadap presiden harus melalui mekanisme yang diatur oleh UU. “Dalam hal ini, MK berkewajiban memberi putusan atas pendapat DPR atas pelanggaran yang dilakukan Presiden,” ujarnya.
Ia menambahkan hanya ada lima poin krusial yang dapat dijadikan alasan pemberhentian presiden, yakni korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, diancam pidana 5 tahun dan melakukan perbuatan tercela menurut UU. “Selain 5 alasan itu tidak bisa, jadi tidak bisa karena alasan politik semata,” tegas mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur ini.
Substansi Islam
Terkait tema yang diangkat “Masa Depan Hukum Islam di Indonesia”, Mahfud menilai hukum Islam akan selalu menjadi substansi dan watak dari hukum nasional di Indonesia. Pada hakikatnya yang diperlukan adalah karakter negara yang berwatak Islami, yang mengaplikasikan nilai-nilai keislaman dan bukan hanya terpaku pada simbol-simbol keislaman, dengan memaksakan pendirian negara Islam atau pemberlakuan syariat Islam. “Itu semua tidak perlu, yang penting, nilai-nilai keislaman terserap dalam hukum nasional Indonesia,” ungkap Mahfud.
Dihari yang sama, Mahfud menyempatkan diri menghadiri pelantikan pengurus Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kota Palembang, masa bakti 2013-2018. (Agung Sumarna/mh)