Sejarah judicial review pertama kali muncul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court (MA) Amerika Serikat dalam “Kasus Marbury vs Madison” (1803). Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam UUD Amerika Serikat, MA Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya yang menyatakan pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
“Hal itu merupakan terobosan hukum dari John Marshall yang punya kewajiban konstitusional. Putusan Marshall ini bahkan berkembang ke Eropa, termasuk Austria yang melahirkan Mahkamah Konstitusi pertama di dunia,” jelas Irfan Nur Rachman selaku Staf Ketua Mahkamah Konstitusi kepada delegasi Permahi (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) Tangerang, Jumat (8/3) di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Terkait pengujian UU, Irfan menerangkan mengenai model Amerika Serikat yang didasarkan pengalaman MA Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada 1803. Model ini menjadi contoh dan ditiru di seluruh dunia, terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung.
“Dalam model Amerika Serikat, judicial review tidak dilakukan oleh badan peradilan tersendiri seperti Mahkamah Konstitusi,” kata Irfan.
Selanjutnya, kata Irfan, ada model Austria yang dikenal sebagai model ‘Constitutional Review’ ala Austria. Kadang-kadang oleh para sarjana, model Austria ini disebut juga sebagai ‘Continental Model’, ‘Centralized Model’ atau bahkan disebut ‘Kelsenian Model’ yang didasarkan atas model yang dikembangkan oleh Profesor Hans Kelsen pada 1919.
“Hingga melahirkan badan tersendiri untuk menguji UU yaitu Mahkamah Konstitusi,” imbuh Irfan yang didampingi Rudini Sibagariang sebagai Ketua Permahi.
Berikutnya, lanjut Irfan, ada model Perancis yang kewenangan judicial review-nya tidak diberikan ke lembaga peradilan. Kewenangan menguji undang-undang diberikan ke sebuah Dewan Council Perancis.
Lebih lanjut Irfan memaparkan sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Saat penyusunan UUD 1945, Moh.Yamin mengusulkan pendirian Mahkamah yang bertugas melakukan pengujian terhadap konstitusi. Hal ini disampaikan pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Menurut Yamin, seharusnya Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang (judicial review). “Tetapi usulan ini ditentang oleh Mr. Soepomo,” ucap Irfan.
Bertahun-tahun kemudian, barulah dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) pada 13 Agustus 2003. MK RI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Wewenang pertama adalah menguji UU terhadap UUD 1945, wewenang kedua adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Berikutnya, ada wewenang memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu termasuk pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki satu kewajiban yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana lainnya. (Nano Tresna Arfana/mh)