Penerapan Pasal 156 ini bertentangan dengan ketentuan pidana materiil dan ketentuan pidana formil. Penyisipan ketentuan dalam Pasal 156a dalam KUHP ini bertentangan dengan ketentuan hukum nasional, internasional, dan hak-hak mendasar manusia dari sisi formil dan sisi materiil. Hal ini disampaikan oleh M. Jamin Ginting selaku Ahli Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-X/2012 pada sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama [Pasal 4] terhadap UUD 1945 pada Rabu (5/3).
“Penetapan Pasal 156a di antara Pasal 156 dan Pasal 157, semakin tidak terdapat sinkronisasi antara pasal sebelum dan setelah Pasal 156a. Hal tersebut karena pasal sebelumnya dan setelahnya tidak mengatur bagaimana melaksanakan aturan beragama dan penodaan terhadap agama,” ujar Ginting di hadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Menurut Ginting, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 menjadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, secara hukum bersifat kondisional, sehingga harus diperbarui dengan kondisi negara yang aman. Sementara itu, dari sisi meteriil, berdasarkan instrumen peraturan nasional dan internasional, maka ketentuan Pasal 156a ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
“Pemerintah yang masih mempertahankan Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama, secara legal formal adalah suatu kesalahan,” jelasnya.
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Syamsu Rizal Pangabean menjelaskan penggunaan Pasal 156a harus diatur seketat mungkin supaya tidak menjadi alat dari pihak-pihak yang terlibat konflik keagamaan. Karena apabila itu terjadi, lanjut Syamsu, negara tidak lagi menjadi manajer konflik atau yang menyelesaikan konflik.
“Akan tetapi, menjadi bagian dari pihak-pihak yang berkonflik. Pasal 156a lebih baik dihapuskan dan kapasitas serta daya nasional kita diarahkan kepada penyelesaian konflik keagamaan yang lebih berorientasi kepada resolusi konflik dan juga restorative justice,” ungkapnya.
Dalam pokok permohonannya, Ketentuan Pasal 156a KUHP mengandung muatan norma yang terlalu luas dan multitafsir sehingga tidak memiliki kepastian hukum pada unsur-unsur pasal tersebut, sehingga untuk pengertian “dimuka umum” sangatlah bersifat subjektif dan tidak dapat diukur, hal tersebut menyebabkan seseorang yang mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tertulis yang berbeda perspektifnya dengan mayoritas masyarakat di tempat tinggalnya dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama seperti yang terjadi pada Para Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)