Hakim Konstitusi Harjono menerima kunjungan 55 orang delegasi dari Mahkamah Konstitusi Thailand, Selasa (5/3). Delegasi yang terdiri atas sejumlah akademisi bidang hukum dan pranata peradilan senior Thailand tersebut dipimpin oleh salah seorang Hakim MK Thailand, Chalermpon AKE-URU.
Mengawali acara tersebut, Harjono menyampaikan ucapan selamat datang dan permohonan maaf karena rombongan MK Thailand tersebut tidak bisa diterima langsung oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD yang memiliki urusan penting lainnya. “Selamat datang. Saya percaya rombongan ini terdiri dari orang-orang penting di Thailand. Kami siap melayani informasi tentang MKRI yang dibutuhkan. Dan, maaf Ketua MK tidak bisa datang karena ada suatu kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan,” ujar Harjono membuka pertemuan tersebut.
Chalermpon juga menyampaikan ucapan terima kasihnya karena sudah diterima dengan baik oleh MKRI. Chalermpon pun menjelaskan kepada rombongannya bahwa MKRI merupakan MK kedua yang ada di Asia Tenggara. Selain itu, Chalermpon mengatakan bahwa MKRI di Indonesia memiliki peran penting dalam kehidupan hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Usai saling memperkenalkan diri, para delegasi dipersilakan untuk menyampaikan pertanyaannya kepada Harjono. Para delegasi terlihat antusias menanyakan berbagai hal tentang MK di Indonesia melalui penerjemah maupun langsung diutarakan menggunakan bahasa Inggris.
Menanggapi pertanyaan para delegasi, Harjono pun menjawab satu per satu pertanyaan yang dilayangkan kepadanya. Harjono lebih sering menyampaikan keterangannya menggunakan bahasa Inggris yang fasih, meski sesekali ia juga meminta bantuan penerjemah untuk menyampaikan dalam bahasa Thailand.
Pertanyaan pertama yang dijawab Harjono yaitu mengenai budgeting di MK. Harjono menjelaskan bahwa Hakim Konstitusi tidak memiliki kewenangan menentukan berbagai bentuk pendanaan. Yang berhak mengatur soal itu adalah Sekretariat Jenderal MK melalui persetujuan dari Parlemen. “MK adalah lembaga peradilan. Sehingga, budget yang ada adalah budget untuk melaksanakan kegiatan MK,” jelas Harjono.
Selain soal itu, Harjono juga menjawab pertanyaan tentang komposisi hakim di MK. Harjono menjelaskan bahwa hakim konstitusi Indonesia berjumlah sembilan orang. Kesembilan orang tersebut berasal dari tiga lembaga berbeda. Tiga orang hakim dipilih oleh Presiden, tiga orang hakim dipilih oleh Mahkamah Agung (MA), dan tiga orang lainnya dipilih oleh DPR.
Kesembilan orang hakim tersebut ketika sudah menjadi hakim konstitusi tidak memiliki hubungan apa pun dengan lembaga yang memilihnya. Dengan kata lain, hakim konstitusi di Indonesia memiliki sikap independen.
Harjono juga menyempatkan menjawab pertanyaan mengenai kewenangan MKRI. Harjono menyampaikan MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan dimaksud, yaitu memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan satu kewajiban MK, yakni wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan atau melakukan perbuatan tercela sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
“Putusan MKRI bersifat final dan mengikat. Jadi setelah suatu perkara diputus, tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh. Dari semua kewenangan dan kewajiban MK, ada dua yang belum MK lakukan yaitu memutus impeachment dan membubarkan partai politik,” tutur Harjono yang juga menjelaskan MK sering diminta untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap suatu UU yang diujikan.
Di akhir pertemuan, Chalermpon yang dijumpai MK online menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan mendasar antara MK di Indonesia dengan di Thailand. “Perbedaannya, MK di Thailand tidak mempunyai kewenangan untuk impeachment dan memutus sengketa pemilihan umum,” ujar Chalermpon.
Selain itu Chalermpon mengatakan hakim konstitusi di MK Thailand juga berjumlah sembilan orang. Hanya saja, kesembilan hakim konstitusi Thailand tidak memiliki komposisi yang seimbang bila dilihat dari lembaga asalnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)