“Mahkamah Konstitusi (MK) tidak pernah membubarkan BP Migas, tetapi Undang-Undang (UU) yang mengatur kewenangan BP Migas, dinyatakan MK bertentangan dengan konstitusi,” tegas Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kepada 28 siswa dari Yayasan Pendidikan Tugu Ibu I Depok, yang mengunjungi MK, Senin (4/03).
Menurut Maria, bubarnya BP Migas merupakan dampak dibatalkannya UU Migas oleh MK beberapa waktu lalu. Lebih lanjut, Maria menjelaskan kewenangan MK untuk melakukan pengujian formil dan materiil UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Disampaikan oleh wanita kelahiran kota Solo, Jawa Tengah itu, pengujian materiil suatu UU terhadap UUD dapat dilakukan kapanpun, namun terhadap pengujian formil suatu UU, MK memberi batas waktu paling lama 45 hari atau satu setengah bulan setelah UU tersebut diundangkan. Karena biasanya, satu setengah bulan setelah UU tersebut disahkan presiden, peraturan pelaksananya juga telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Lebih lanjut, Hakim Maria menjelaskan, sebelumnya, seluruh UU yang terbit sebelum amandemen UUD 1945 tidak dapat diajukan ke MK untuk diuji, namun setelah MK memutus pengujian UU MK pada tahun 2009, maka UU yang terbit jauh sebelum dilakukannya amandemen UUD dapat diajukan ke MK untuk diuji.
Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Yustina, salah satu guru pendamping dalam kunjungan tersebut, yang menanyakan ukuran dan konstitusionalitas hukuman mati bagi koruptor, “MK dalam putusannya mengakui hukuman mati,” ungkap Maria bahwa keadilan tergantung dari siapa yang merasakan, dalam UU korupsi juga ada pidana minimum dan hukuman setinggi-tingginya. Namun Hakim Maria mengakui, secara perundang-undangan merumuskan sanksi pidana yang tepat tidak ada ukurannya.
Disinggung Eni, salah satu guru Yayasan Pendidikan Tugu Ibu Depok, mengenai putusan Ujian Nasional (UN), Hakim Maria menerangkan, putusan tentang UN itu merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA), bukan putusan MK. Dijelaskan olehnya, MK memutus perkara Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Terhadap masalah sistem pendidikan tersebut, Maria yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menyatakan, seharusnya jika ada standarisasi mutu pendidikan, maka peserta didik di seluruh Indonesia harus mendapatkan fasilitas yang sama, ”bagaimana mungkin memberikan ukuran yang sama jika fasilitas yang diterima berbeda,” pungkas Maria Farida Indrati. (Ilham/mh)