Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menerima kunjungan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan kewarganegaraan (PKn) Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Kabupaten Kulonprogo, Senin (4/3), di Ruang Konferensi Pers, lantai 4, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertemuan itu para guru bertanya berbagai hal terkait fungsi dan kewenangan MK. Fadlil yang juga mantan guru itu dengan ramah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Membuka pertemuan itu, Fadlil menyampaikan rasa terima kasih dan rasa syukurnya karena dipertemukan dengan para bapak dan ibu guru dari MGMP PKn SMP se-Kabupaten Kulonprogo pada hari ini. Fadlil mengaku berterima kasih kepada para bapak dan ibu guru yang sudi datang ke MK dan kemudian memperkenalkan MK kepada murid-murid bapak dan ibu guru masing-masing.
“Saya bersyukur dan berterima kasih karena dipertemukan dengan Bapak dan Ibu yang memperkenalkan MK. Karena kalau Bapak dan Ibu guru mengajar 32 murid di satu kelas, lalu di satu sekolah ada berapa murid? Belum lagi ini kan Bapak dan Ibu dari beberapa sekolah yang berbeda-beda se-Kabupaten Kulonprogo. Jadi saya berterima kasih karena Bapak dan Ibu gurulah, MK dikenal bangsa Indonesia,” ujar Fadlil membuka pertemuan tersebut.
Fadlil kemudian menyilakan para bapak dan ibu guru untuk mengajukan pertanyaan apa saja tentang MK kepadanya. Sebab, Fadlil merasa tidak pantas kalau ia yang menjelaskan kepada para bapak ibu guru yang notabene mengetahui juga hal-hal seputar MK. “Tanya saja apa yang Bapak dan Ibu mau tanyai. Kalau saya yang menjelaskan, sama saja seperti menggarami air laut,” tutur Fadlil merendah.
Usai mendengar pertanyaan dari para peserta dalam pertemuan kali ini, Fadlil kemudian menjelaskan berbagai hal terkait MK yang ditanyakan para peserta. Pertama, Fadlil menjelaskan mengenai adanya perubahan UUD 1945 dan kekuasaan kehakiman. Sebelumnya, UUD 1945 dianggap terlalu simpel, dapat dikendalikan oleh politik, terlalu sedikit norma yang diaturnya, terlalu luas cakupannya, dan mekanismenya diserahkan kepada penyelenggara negara. Setelah perubahan UUD 1945 konstitusi menjadi hukum tertinggi, kedudukan lembaga negara (tinggi) sederajat, dan penegakkan supremasi hukum.
Dalam makalah yang diberikan kepada peserta, dijelaskan bahwa salah satu pasal yang ikut diubah, yaitu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat”. Bunyi pasal tersebut pun diubah menjadi sebagai berikut.
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.
Perubahan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut dengan otomatis mengubah kedudukan MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi lembaga tinggi negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara saja.
Fadlil pun menjelaskan mengenai kewenangan MK, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran Parpol, memutuskan perselisihan hasil Pemilu, dan satu kewajiban untuk memberikan putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945 (Yusti Nurul Agustin/mh)