Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kerapkali kontroversial, dianggap suka mengganggu kemapanan, sehingga banyak orang yang marah dengan putusan yang dijatuhkan MK.
“Tapi percayalah, hal itu bukan tujuan MK. Putusan-putusan MK semuanya mencerminkan perlindungan negara terhadap hak konstitusional warga negara,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi kepada para dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila yang berkunjung ke MK, Jumat (1/3) siang.
Fadlil melanjutkan, Mahkamah Konstitusi dibentuk sesuai latar belakang kelahiran Mahkamah Konstitusi. Sebelum terjadi reformasi politik 1998, terjadi dinamika politik di Indonesia yang berpuncak pada lengsernya Presiden Soeharto.
“Dinamika politik tersebut memakan ongkos sosial yang cukup besar, hingga muncul tuntutan demokrasi dalam penyelenggaraan negara sesuai isi Pasal 1 UUD 1945,” kata Fadlil kepada para tamunya, di antaranya termasuk Dekan FH Universitas Pancasila, Ade Saptono.
Sebelum terjadi amandemen UUD 1945, lanjut Fadlil, Pasal 1 UUD 1945 hanya terdiri atas 2 ayat. Namun sekarang pasal tersebut terdiri atas 3 ayat. “Ayat 1 utuh, yang diubah adalah ayat 2. Dulu, bunyi ayat 2, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”.
“Dengan begitu, kita mengenal adanya satu implementasi terhadap gagasan supremasi parlemen, dalam hal ini MPR. Bahkan dalam penjelasan pasal itu, MPR disebut sebagai penjelmaan dari rakyat. Dalam praktiknya, kedudukan MPR lebih tinggi dari rakyat,” ucap Fadlil yang didampingi moderator Adnan Hamid selaku Wakil Dekan I FH Universitas Pancasila.
Tak mengherankan, lanjut Fadlil, saat itu MPR benar-benar berkuasa. Setiap penguasa selalu menguasai MPR. Dengan menguasai MPR, masa jabatan Presiden selama 5 tahun bisa terus diperpanjang, malah berlangsung seumur hidup.
“Oleh sebab itu, setelah terjadi perubahan UUD 1945, bunyi Pasal 1 ayat (2) berubah menjadi ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD’,” jelas Fadlil.
Perubahan bunyi ayat 2 itu pun memiliki implikasi yang besar. Indonesia tidak lagi menganut supremasi parlemen tapi menganut supremasi hukum. “Dengan demikian, dalam perspektif teori, ayat itu mencerminkan tekad bangsa mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia ke negara demokrasi yang berdasarkan hukum atau juga disebut negara hukum yang demokratis,” urai Fadlil dalam kesempatan itu.
Sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, jelas Fadlil, merupakan penambahan adanya kata-kata “negara hukum”. “Hal ini merupakan penegasan dari ekor ayat 2 Pasal 1 UUD 1945,” tambah Fadlil.
Lebih lanjut Fadlil menerangkan, yang paling penting dari diubahnya sistem ketatanegaraan menjadi lebih demokratis, menjadikan hubungan antara negara dengan rakyatnya tidak vertikal seperti tahun-tahun silam.
“Setelah terjadi perubahan UUD 1945, kita meletakkan secara sungguh-sungguh kedudukan negara dan warga negara secara horizontal, adanya tekad bangsa Indonesia menata negara sesuai prinsip-prinsip negara hukum,” tandas Fadlil. (Nano Tresna Arfana/mh)