Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan mengenai pengujian UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terhadap UUD 1945 dikabulkan sebagian. Putusan dengan Nomor 64/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Mahfud MD yang didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi.
“Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Mahfud MD membacakan putusan permohonan yang diajukan oleh Magda Safrina.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Harjono, harta bersama (gono-gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh suami dan/atau isteri di satu bank baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya merupakan harta benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut Konstitusi.
Selain itu, menurut Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri, sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak.
Kemudian, Mahkamah juga berpendapat, apabila Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara keseluruhan dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal itu akan menimbulkan tidak adanya perlindungan terhadap kerahasiaan bank, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan nasabah terhadap bank dan merugikan perekonomian nasional.
Mengenai ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, ketentuan tersebut adalah untuk pihak terafiliasi bukan untuk perorangan warga negara. Adapun Pihak terafiliasi menurut Pasal 1 angka 22 UU Perbankan adalah anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank. Kemudian, anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya serta pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
“Apabila ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka pihak terafiliasi dapat mengetahui data nasabah yang seharusnya dirahasiakan. Hal itu justru merugikan nasabah bank yang berdampak hilangnya rasa percaya pada bank dan merugikan perekonomian nasional,” ujar M. Akil Mochtar yang juga membacakan pendapat Mahkamah. Dengan demikian, sambung Akil, ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Untuk diketahui, dalil Pemohon pada sidang sebelumnya yaitu perselisihan dalam pembagian harta bersama (gonogini) dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian adalah sebuah peristiwa yang sering terjadi di masyarakat luas, yang sering berakhir dengan kerugian materiil yang dialami oleh salah satu pihak yang berselisih, hal yang mana kerugian tersebut telah dan atau dapat terjadi karena kerahasiaan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Selain itu, Pemohon juga mengatakan bahwa Kedudukannya di dalam perkawinan dilindungi hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia, maka terhadap harta yang diperoleh baik oleh suami maupun istri, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, yang mana harta tersebut diperoleh selama dalam kurun waktu pernikahan sehingga kedudukan harta tersebut di mata hukum dan Undang-Undang adalah harta bersama (gono-gini) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, dan Pasal 37 dan diperjelas lagi dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang berlaku berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. (Utami Argawati)