Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan Perkara Pengujian Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dengan nomor perkara 113/PUU-X/2012, Kamis (28/2). Sidang perkara yang dimohonkan oleh Hazil Ma’ruf pada kali ini beragendakan mendengar keterangan saksi Pemohon, saksi fakta dari Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah.
Sebelumnya, Pemohon dalam permohonannya mendalilkan salah satunya bahwa Pasal 125 ayat (2) UU Minerba sepanjang frasa ‘klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh menteri’ adalah kontradiktif serta bersifat diskriminatif. Klasifikasi dan kualifikasi usaha pertambangan yang ada di frasa tersebut diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 28 Tahun 2009 tentang Penyeleggaraan Usaha Jasa Pertambangan dan perubahannya pada Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2012. Jasa Usaha Pertambangan pun dibedakan berdasarkan kategori konsultan, perencana, pelaksana, dan pengujian peralatan.
Untuk membuktikan dalilnya, Pemohon pada sidang yang dihadiri delapan hakim konstitusi, kecuali Maria Farida Indrati, menghadirkan saksi dan ahli. Saksi Pemohon, Tedi Marbinanda mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan keterangan di hadapan pleno hakim yang diketuai oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD di ruang sidang pleno, lantai 2, Gedung MK. Tedi yang merupakan pengusaha pertambangan timah skala kecil menyampaikan kerugian yang dirasakannya dengan berlakunya Pasal 125 ayat (2), Pasal 126 dan Pasal 127 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tedi khawatir usahanya gulung tikar karena adanya persyaratan yang dirasa sangat memberatkan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tedi menyampaikan bahwa saat ini banyak penambang yang berhenti menambang. Bila biasanya penambang menemukan tambang dapat langsung datang ke PT Timah untuk ditindaklanjuti, namun saat ini tidak bisa. “Kalau sudah lapor ke PT Timah, nanti oleh PT Timah akan diproses lebih lanjut dengan mekanisme yang ada di sana. Apabila sudah memenuhi syarat, akan keluar kontrak kerja samanya untuk kita. Sekarang, dari pertengahan tahun kemarin sampai saat ini kontrak itu diberhentikan karena ketidakjelasan aturan,” ujar Tedi.
Tedi mengaku, usahanya bisa masuk ke dalam klasifikasi usaha pertambangan skala kecil setelah didongkrak sana sini. Hal itu bisa dilakukan karena Tedi memiliki latar belakang sarjana teknik pertambangan. Namun, Tedi mengungkapkan bahwa para penambang kecil saat ini tidak bisa melakukan usaha penambangan sehingga banyak penambang yang tidak bekerja lagi. Saat PT TImah mengalami ketidakjelasan dan mereka terpukul.
Kalau dirinya yang memiliki latar belakang sarjana teknik pertambangan, kami mengerti ada klasifikasinya hanya sampai menggali dan pengolahan awal. Kalau sekarang, penyedia jasa pertambangan seperti dirinya tidak kerja kalau masyarakat tidak kerja sama sekali. “Kalau mau disesuaikan seperti peraturan dalam Permen itu (Permen Penyeleggaraan Usaha Jasa Pertambangan dan perubahannya, red), kita sebetulnya didongkrak-dongkrak baru bisa masuk ke klasifikasi yang kecil,” ungkap Tedi.
Perlu Klasifikasi dan Kualifikasi
Saksi fakta dari Pemerintah, Ichwan Aznardi menyampaikan alasan mengapa perlu ada klasifikasi dan kualifikasi usaha pertambangan. Di mulai dari tahun 2000 yang lalu, saat itu masyarakat masuk secara massal dan menambang di lokasi-lokasi pertambangan dengan memakai IUP. Namun, akhirnya PT Timah bahkan pihak kepolisian tidak bisa mengendalikan usaha pertambangan yang menjadi “liar” tersebut. Bahkan, bijih timah pun banyak yang diperjualbelikan secara bebas dan diekspor ke luar neger tanpa bisa dipantau oleh PT Timah. Karena itulah pada akhirnya PT Timah tidak mendapat hasil yang optimal karena produksi bijih timahnya itu diperjualbelikan ke pihak yang lain. “Nah, atas kejadian ini, situasi ini, maka manajemen melakukan pengetatan terhadap tata kelaolanya,” ujar Ichwan.
Untuk mencegah segala kekisruhan akibat bebasnya usaha pertambangan, PT Timah pun melakukan perubahan tata kelola yang tujuannya melakukan konservasi cadangan perusahaan, meningkatkan efisiensi dan efektifitas penambangan, dan melakukan penataan lokasi reklamasi. Untuk mencapai tujuan perubahan tata kelola itu, PT Timah pun melakukan rencana kerja penambangan yang harus dibuat sepenuhnya oleh PT. Timah, operasional penambangan harus dikendalikan sepenuhnya oleh PT. Timah, dan pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi kegiatan pertambangan .
Ahli dari Pemerintah yang juga pakar Pertambangan, Irwandy Arif menyampaikan hal senada. Ia menyampaikan klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa pertambangan memang diperlukan. “Dapat saya simpulkan bahwa untuk ijazah usaha jasa pertambangan tim aluvial mendapat perhatian pemerintah agar usaha jasa lokal dan masyarkat sekitar mendapatkan kesempatan melakukan kemitraan dalam pelaksanaan penggalian timah aluvial. Hal ini terlihat dari penyesuaian kualifikasi pada Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2012 yang menyempurnakannya dari Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2012. Sedangkan yang ditetapkan oleh menteri itu adalah klasifikasi dan kualifikasi dari usaha jasa pertambangan, bukan izin untuk badan usaha koperasi ataupun perseorangan dari usaha jasa pertambangan. Saya tidak melihat adanya kontradiktif dan diskriminasi,” jelas Irwandy. (Yusti Nurul Agustin/mh)