Ketentuan Pasal 163 Undang-Undang Ketenagakerjaan telah memberikan kepastian hukum yang adil bagi pekerja dan pengusaha. Hal ini disampaikan Ditjen Litigasi Kemenhukham Mualimin Abdi mewakili Pemerintah dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Rabu (27/2).
“Makna kata “dapat” menurut pemerintah dalam ketentuan Pasal 163 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, menurut pemerintah telah memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja atau buruh dan pengusaha,” ucap Mualimin di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Tidak terkait dengan isu konstitusionalitas keberlakuan norma, namun berkaitan dengan penerapan norma, dalam hal ini, kedua belah pihak yang bersengketa telah melakukan mengajukan perkara di Pengadilan Hubungan Industrial yang dilakukan Para Pemohon sudah mendapat putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial yang menolak gugatannya. “Jika Pemohon ingin mengajukan banding, bisa dilakukan melalui Mahkamah Agung. Jadi menurut Pemerintah ini bukan menjadi wewenang MK,” ujar Mualimin.
Mualimin menjelaskan apabila terjadi aksi korporasi baik perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, maka pengusahanya dapat melakukan PHK dan perkerja atau buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja manakala terjadi restrukturisasi yang mengakibatkan reposisi rotasi dalam jangka waktu yang ditentukan. Dengan kata lain, lanjut Mualimin, terkait dengan pemutusan hubungan kerja karena alasan adanya corporate action sebagaimana disebutkan di atas, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja bilamana setelah dilakukan restrukturisasi organisasi.
“Karena adanya organisasi itu terjadi perampingan atau downsizing dan efisiensi sumber daya manusia atau dilakukan rotasi atau mutasi dalam rangka penyesuaian kualifikasi dan kompetensi kerja. Kompetensi kerja, yaitu para pekerja atau buruh sesuai dengan formasi pekerjaan dan kebutuhan manajemen. Artinya, PHK bukan karena faktor suka atau tidak suka,” paparnya.
Akan tetapi, Mualimin menambahkan kata “dapat” tersebut bersifat bersyarat, yakni harus ada restrukturisasi dan reposisi atau rotasi. Dalam hal terjadi restrukturisasi, rotasi, atau reposisi dan berakibat langsung terhadap pekerja atau buruh yang bersangkutan, khususnya yang terkait dengan syarat-syarat kerja, hak dan kewajibannya, maka pengusaha harus membayar hak-hak pekerja atau buruh bila yang bersangkutan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Selain itu, menurut Mualimin jika pasal tersebut dicabut, maka akan menimbulkan hal-hal, seperti terjadi kekacauan terutama bagi perusahaan yang telah go public, mengakibatkan hilangnya perlindungan keseimbangan antara pekerja atau buruh dan pengusaha. “Menurut Pemerintah, kata “dapat” sebagaimana yang dimohonkan oleh Para Pemohon adalah sudah tepat dan dapat melindungi dan memberikan keseimbangan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, Dunung Wijanarko dan Wawan Adi Dwi Yanto selaku Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 163 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. Terjadinya kerugian hak konstitusional para pemohon merupakan akibat dari ketidaktegasan Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan terkait hak-hak pekerja/buruh pada perusahaan yang melakukan penggabungan usaha. Ketentuan tersebut harusnya dimaknai apabila pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dalam hal terjadi penggabungan, perubahan status, atau peleburan diperusahaannya maka pengusaha tersebut melakukan PHK terhadap buruh yang bersangkutan dengan memberikan hak pekerja/buruh sesuai dengan yang diatur di dalam ketentuan tersebut. (Lulu Anjarsari/mh)