Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menjadi keynote speaker dalam Workshop “Diskusi dan Tindak Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011” pada Rabu (27/2) siang di Jakarta.
“Acara workshop ini bertujuan mendiskusikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 77/PUU-IX/2011 mengenai Pengujian UU No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam pengujian perkara itu, pertanyaan hukum yang diajukan pemohon kepada MK, apakah kewenangan PUPN untuk mengurus piutang bank BUMN yang tidak dapat melakukan restrukturisasi hutang atas piutang para debitur bank BUMN bertentangan dengan konstitusi?” urai Akil kepada hadirin, di antaranya sejumlah pejabat tinggi Bank Pembangunan Daerah maupun jajaran redaksi Majalah Infobank.
Amar putusan MK terhadap Perkara No. 77/PUU-IX/2011 menetapkan bahwa frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 49/1960; frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 49/1960; frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 UU No. 49/1960; frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 49/1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Kesimpulannya, MK memutuskan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) tidak memiliki kewenangan untuk menangani perkara piutang yang dimiliki bank BUMN. Karena pada prinsipnya BUMN merupakan badan yang kekayaannya terpisah dari kekayaan negara,” ungkap Akil Mochtar.
“Dengan demikian, bank BUMN diberikan keleluasaan untuk menyelesaikan urusan kekayaannya sendiri dan tidak berada dalam lingkup kewenangan PUPN,” tambah Akil.
Akil menjelaskan, dalam pemeriksaan perkara Pengujian UU No. 49/1960 hanya terkait dengan salah satu BUMN yaitu PT. Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini disebabkan para pemohon yang menjadi pihak yang berperkara merupakan debitur Bank BNI dan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan urusan hutang piutangnya dengan BNI.
“Tetapi karena sifat putusan MK adalah erga omnes atau berlaku secara umum, maka putusan MK tidak hanya menyangkut BNI. Namun juga mengikat kepada selurun bank BUMN,” kata Akil.
Akil menjelaskan duduk perkara Pengujian UU No. 49/1960 tersebut. Bahwa para pemohon pengujian UU tersebut terdiri atas tujuh perusahaan/badan hukum privat, merupakan debitur PT. BNI Tbk. Pada saat terjadi krisis moneter sebagai peristiwa luar biasa, pemohon tidak mendapatkan bantuan berupa pemberian keringan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan hutang. Di sisi lain, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif yang menyelesaikan kreditnya melalui lembaga BPPN, telah menikmati pengurangan hutang pokok hingga di atas 50% dari hutang pokoknya.
“Tetapi, para pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui PUPN, ternyata hutangnya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan ini disebabkan karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 49/Prp/1960. Bank-bank BUMN termasuk PT. BNI Tbk. hanya dapat menyelesaikan hutang tidak tertagih melalui PUPN tanpa memiliki keleluasaan untuk adanya restrukturisasi hutang atau penundaan hutang,” tandas Akil. (Nano Tresna Arfana/mh)