Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) mengandung semangat peningkatan mutu pendidikan dan menghindari komersialisasi. Bahkan, adanya otonomi pendidikan dalam undang-undang ini, telah sejalan dengan pemikiran para pendiri bangsa.
Demikian hal itu diungkapkan oleh para saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam lanjutan Sidang Perkara No. 103/PUU-X/2012 dan Perkara No. 111/PUU-X/2012, Rabu (20/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Hadir pada kesempatan itu, para guru besar dari berbagai universitas, yakni Prof. Dr. Sofian Effendi, Prof. Dr. Anwar Arifin, Prof. Dr. Nizam, dan Prof. Dr. Fasich.
Anwar Arifin, sebagai salah satu orang yang mengikuti perdebatan terkait UU PT, mengatakan bahwa pada dasarnya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melalui UU ini ingin memberikan solusi yang tepat atas kemajuan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan tinggi, melalui otonomi akademik. Saat itu, ujarnya, Pemerintah dan DPR bersepakat melahirkan UU Pendidikan Tinggi yang berpihak kepada mahasiswa.
“Bertujuan untuk membentuk norma yang mewujudkan pendidikan bermutu dan terjangkau secara ekonomi oleh mahasiswa,” ungkap Anwar. Bahkan, dalam UU tersebut, dirumuskan ketentuan afirmatif bagi calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi yang berasal dari kalangan dhuafa, terutama yang berada di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal agar dijamin sekurang-kurangnya 20% dari total mahasiswa baru.
Oleh karena itu, dia berpandangan, ketentuan yang diuji oleh Para Pemohon tidak bertentangan dengan konstitusi karena tetap menjamin adanya kepastian hukum pada setiap perguruan tinggi. “Pemerintah tidak akan lepas tangan. Pemerintah itu pula yang mengatur struktur organisasi PTN badan hukum dan segala aspek lainnya. Termasuk ketika mengalami pailit atau pembubaran,” paparnya.
Sofyan Efendi mendukung kesaksian tersebut. Menurutnya, penyususnan UU PT dalam rangka memperbaiki pendidikan di Indonesia. Berdasarkan risalah sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, kata dia, dihasilkan pandangan bahwa perlu diberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada perguruan tinggi nasional. “Disampaikan pula di Kongres Nasional Pendidikan Ke II yang diselenggarakan di Surakarta pada 4 dan 6 Agustus 1945,” jelasnya.
Menurut Sofyan, yang juga terlibat dalam pembentukan UU PT, menyatakan bahwa pemerintah dan DPR telah berusaha untuk mempertimbangkan berbagai hal dalam merumuskan pasal-pasal dalam UU PT, seperti peningkatan mutu pendidikan, relevansi dengan kebutuhan dunia kerja, akses terhadap pendidikan tinggi, dan pembiayaan.
Begitupula menurut Nizam. Dia menyatakan, undang-undang ini malah menjamin akses terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan bagi seluruh anak bangsa. “Mengantisipasi masa depan dan meghindari praktik kurang baik yang terjadi selama ini, yakni berupa komersialisasi dan komodifikasi pendidikan tinggi,” tegasnya.
Adapun Fasich, saksi yang sehari-harinya berprofesi sebagai tenaga pengajar di Universitas Airlangga, menyimpulkan bahwa dengan melalui badan hukum, maka telah dicapai berbagai kemajuan di kampusnya. Salah satunya adalah dalam hal manajemen. Oleh karenannya, ia menganggap, dengan adanya ketentuan ini, telah dihasilkan perkembangan yang positif dalam dunia pendidikan tinggi dewasa ini.
Setelah mendengarkan pandangan para saksi Pemerintah tersebut, Pleno Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK. Moh. Mahfud MD, memberitahukan kepada para pihak bahwa sidang terakhir akan digelar Kamis, (7/3). “Guna mendengarkan saksi/ahli pemohon atau pemerintah.” (Dodi/mh)